Menerima sesuatu tentu lebih mudah dibandingkan memberi. Seperti itu pula sebuah pepatah mengatakan “tangan diatas lebih baik dari pada tangan dibawah”. Berada di posisi “diatas” berkonotasi kepada yang lebih mulia. Maka mulialah orang-orang yang senantiasa membiasakan diri untuk memberi. Memberi sesuatu kepada orang lain adalah sesuatu yang berat. Sementara dalam keseharian kita senantiasa dituntut untuk memberi. Baik dari sudut tuntunan agama, maupun pertimbangan tuntutan hidup sosial.
Memberi sesuatu kepada orang lain bisa berupa apa saja. Harta benda, jasa, atau sekedar senyum tulus, dsb. Suatu agama atau keyakinan senantiasa menganjurkan penganutnya untuk memberi sebagai salah satu bentuk ibadah atau darma dan pengabdian. Memberi sesuatu kepada orang lain juga merupakan salah satu cara membangun jaringan hablun minal annas dan menciptakan silaturrahim. Memberi menjadi suatu penyeimbang dalam kehidupan sosial secara moril maupun materiil.
Bersedekah, berinfaq, berzakat, memberi hadiah dan bantuan jasa adalah varietas wujud dari memberi. Sukarela, tulus, ridho, ikhlas adalah sesuatu yang harus melandasi “memberi” agar dia bernilai, baik secara sosial maupun spritual. Sehingga sebahagian orang menganggap percuma suatu pemberian jika tidak dilandasi dengan hati ikhlas.
Sebenarnya bagaimanakah ikhlas itu? Jika melihat pengemis di pinggir jalan, lalu memberinya sejumlah uang atau apa saja yang ada pada kita atas dasar rasa iba dan kasihan misalnya. Itu masih sangat manusiawi. Dan belum tentu masuk kategori ikhlas. Memang terkadang kita mengenal ‘ikhlas’ atau kerelaan hati sebagai wujud cerminan dari rasa iba atau kasihan. Pernahkah kita memberi sesuatu kepada seseorang tanpa harus tahu kita kasihan atau tidak? May be yes..,may be not!
Seorang ahli hikmah mengatakan bahwa memberi sesuatu lantaran adanya sebab, seperti kasihan, prihatin, iba dsb, itu belum bisa dikategorikan sebagai ikhlas. Namun tidak lebih sebagai suatu bentuk kerelaan atau ketulusan hati saja yang bisa menjadi sebagai pemuasan hawa nafsu ego kasihan atau ego iba kita. Namun memberi atas dasar rasa kasihan atau iba pun itu sudah cukup baik. Terlebih lagi jika kita bisa berlaku ikhlas.
Berlaku ikhlas memang berat. Jika dalam memberi sesuatu masih mudah, ringan dan enteng berarti kita belum masuk dalam kategori ikhlas tapi baru sekedar rela atau tulus. Dalam memberi sesuatu kepada orang lain terkadang muncul rasa berat dalam hati kita karena berbagai faktor dan alasan. Alasan itu bisa disebabkan kurangnya biaya hidup, Tanggal tua, Lagi membutuhkan. Namun tetap saja mencoba menyisihkan untuk memberi meskipun sedikit karena dilandasi semata-mata atas nama Tuhan. Dan rasa berat itu kita ikhlas-kan meskipun masih terkesan disabar-sabarkan. Inilah yang lebih dimaksudkan sebagai ikhlas. Sekali lagi karena dia berat.
Ada perbedaan antara ikhlas dan tulus. Ikhlas itu, merelakan sesuatu yang terasa berat. Tulus itu adalah kerelaan hati karena faktor adanya rasa senang atau tidak ada beban. Ikhlas memiliki kedudukan atau derajat yang tinggi di mata Tuhan. Sehingga salah-lah orang yang mengatakan: percuma saja melakukan ini-itu jika tidak ikhlas. Persepsi orang selama ini terbalik, jika orang terlihat berat membantu atau memberi sesuatu disebut ‘tidak ikhlas’ dan begitu pula sebaliknya. Berbuat ikhlas meskipun berat, seorang mukhlis senantiasa dilandasi dengan nama Sang Maha Pencipta.
Ikhlas merupakan solusi positif menghadapi kondisi bangsa yang carut marut oleh berbagai bencana, yang diakibatkan oleh campur tangan manusia sendiri ini. Melalui bencana ini pun kita masih digebleng oleh Tuhan untuk menjadi orang yang ikhlas dalam menerima segalanya. Termasuk di dalamnya ikhlas memberi bantuan kepada korban banjir misalnya. Bencana pada bangsa ini telah membuka lebar bagi penduduknya untuk berlaku ikhlas. Semoga kita termasuk orang-orang yang ikhlas.
2 komentar:
terima kasih nasehat ikhlasnya
mohon nama penulis tulisan ini yaitu andi sumangelipu dituliskan karena hal tersebut adalah hak cipta
Posting Komentar