Di sudut pasar Madinah Al-Munawarah seorang pengemis Yahudi buta hari demi hari apabila ada orang yang mendekatinya ia selalu berkata "Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya". Setiap pagi Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad. Rasulullah SAW melakukannya hingga menjelang Beliau SAW wafat. Setelah kewafatan Rasulullah tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu.
Suatu hari Abubakar r.a berkunjung ke rumah anaknya Aisyah r.ha. Beliau bertanya kepada anaknya, "anakku adakah sunnah kekasihku yang belum aku kerjakan", Aisyah r.ha menjawab pertanyaan ayahnya, "Wahai ayah engkau adalah seorang ahli sunnah hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja". "Apakah Itu?", tanya Abubakar r.a. Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana", kata Aisyah r.ha.
Ke esokan harinya Abubakar r.a. pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu. Abubakar r.a mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepada nya. Ketika Abubakar r.a. mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak, "siapakah kamu ?". Abubakar r.a menjawab, "aku orang yang biasa". "Bukan !, engkau bukan orang yang biasa mendatangiku", jawab si pengemis buta itu. Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut dengan mulutnya setelah itu ia berikan pada ku dengan mulutnya sendiri", pengemis itu melanjutkan perkataannya.
Abubakar r.a. tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, aku memang bukan orang yang biasa datang pada mu, aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW. Setelah pengemis itu mendengar cerita Abubakar r.a. ia pun menangis dan kemudian berkata, benarkah demikian?, selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia.... Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat dihadapan Abubakar r.a.
Sabtu, 17 April 2010
Rabu, 14 April 2010
Belajar Keikhlasan
Assalamulaikum wr... wb....
Terasa cemas ketika kubuka buka email satu demi satu, itulah yg kurasakan waktu awal awal
ketika harus beradu argumen dan mengalami perbedaan pendapat dan terlihat pula berbagai
kalimat yang bukan hanya kurang enak bahkan menyudutkan salah satu atau mungkin diriku
sendiri....
Terasa sakit pula ketika cinta datang dengan dahsyatnya ketika hati sudah mulai mengenal
kebenaran islam, dan sakit bertambah parah ketika dihadapkan sang pujaan hati masih jauh
dari kebenaran islam. Disitu pertentangan terjadi benarkah cinta suatu dosa ketika ia
tiba tiba datang dan tidak bisa terelakan, ataukah ini hanyalah sebuah ujian dan
pelajaran bagiku untuk melangkah kedunia nyata...
Terasa kecewa pula saat ingin kumemberi tahu tentang sesuatu pada temanku, tapi ternyata
temanku tidak tertarik bahkan terkesan bosan mendengar apa yang aku katakan. Padahal
menurutku ini penting sekali bahkan kadang kadang yang kusampaikan adalah satu
kebenaran...
Terasa lemas juga badan ini didalam suatu pergaulan secara umum ketika aku sudah tidak
dapat mengikutinya, aku merasa terasing bagaikan nyanyian Bang Iwan " ada tapi dianggap
tiada". Aku memang nyaman diPergaulanku di Pengajian dan lain lain tetapi medan itu sudah
terlalu tenang, sejuk dan damai. Dan disana bertambah pula keimananku. tapi lagi lagi aku
berpikir bukankah medan dakwahku justru disini . Ketawaku yang kadang kupaksakan tatkala
mendengar uraian teman2 gaulku yang sebenarnya tiada arti dan makna. Tapi inilah medan
yang harus kuhadapi. Dan ketika hati sudah gundah maka pendinginan dilakukan kembali
dilingkungan Pengajian.
Dan banyak lagi Kecemasan, Kegundahan, sakit Hati dan lain lain..... Perih perih Sekali
bahkan kadang kadang sampai hati terasa benar benar diremas secara Phisik. Tidak ingin
kutunjukan sedikitpun kalo aku tuh tidak suka sama pergaulan mereka, cara hidup mereka,
cara bertutur kata mereka, kalo aku tuh sakit hati karena canda mereka, bahkan
kusembunyikan air mataku yang kadang menetes ketika aku sudah tak tahan mendengar apa
yang mereka katakan. Walaupun malamnya aku akan menangis berlinangan air mata ketika ku
mengadu dan mengeluh padaNYA..............
Sakit yang bertubi tubi menjadikanku kebal terhadap segala macam tetek bengek, sedemikian
kegoncangan dan apa apa yang terjadi dihatiku tak terlihat pada wajahku dan tidak
terlontarkan oleh mulutku dengan kata kata, dan kegoncangan itu teredam dihatiku dengan
lafaz " Ya Allah, kepadaMUlah aku berserah diri dan kepadaMUlah keserahkan semuanya." ..
Ada peribahasa " Ketika kamu telah merasakan sakit yang luar biasa pada perasaanmu, maka
sakit yang lainya sudah terlupakan olehmu".
Aku bersyukur aku tidak beranjak dari teman teman gaulku, dari yang menoreh hatiku dengan
cinta, dari orang orang yang menyakitiku baik dengan kata kata dan perbuatan. Dan
setidaknya aku telah menyisipkan Kalimatullah diantara sel sel hati mereka dengan ataupun
tidak mereka sadari. Dan aku berharap dan berdoa setidaknya hal itu akan menggiring dan
mengarakanya kepada cahaya islam yang terang benderang....
dan Aku bersyukur niatku hidup untukNYA telah membentengiku dari hal yang tidak
diinginkan, kalaupun ada noda maka kuanggap itu manusiawiku dan sebagai pembelajaran
dariNYA....
Hi... Aku bukan tertidur tatkala keadaan tenang...
Hi....Aku bukan damai karena lingkungan sekelilingku tenang...
Hi....Aku tidak pernah lari dari medan dakwahku bahkan kucari dan ingin kutakhlukan....
Hi....Aku baik bukan karena aku berada dilingkungan baik saja...
Hi....Aku tidak berkoar koar kebenaran yang kadang semu didlm hidupku...
Hi....Aku tidak membela diriku dengan alasan apapun kecuali agar engkau sadar...
Tahukah kamu :
...Aku Sejuk dan damai karena kuberusaha ikhlas sebenar-benarnya ikhlas padaNYA....
Wassalam wr... wb....
Dari yang merindukan keikhlasan
Eko Wardoyo (6Maret 2004)
NB:Catatan diatas bukan semata mata diriku melainkan sesuatu yang kuimpikan dalam
hidupku...
ketika harus beradu argumen dan mengalami perbedaan pendapat dan terlihat pula berbagai
kalimat yang bukan hanya kurang enak bahkan menyudutkan salah satu atau mungkin diriku
sendiri....
Terasa sakit pula ketika cinta datang dengan dahsyatnya ketika hati sudah mulai mengenal
kebenaran islam, dan sakit bertambah parah ketika dihadapkan sang pujaan hati masih jauh
dari kebenaran islam. Disitu pertentangan terjadi benarkah cinta suatu dosa ketika ia
tiba tiba datang dan tidak bisa terelakan, ataukah ini hanyalah sebuah ujian dan
pelajaran bagiku untuk melangkah kedunia nyata...
Terasa kecewa pula saat ingin kumemberi tahu tentang sesuatu pada temanku, tapi ternyata
temanku tidak tertarik bahkan terkesan bosan mendengar apa yang aku katakan. Padahal
menurutku ini penting sekali bahkan kadang kadang yang kusampaikan adalah satu
kebenaran...
Terasa lemas juga badan ini didalam suatu pergaulan secara umum ketika aku sudah tidak
dapat mengikutinya, aku merasa terasing bagaikan nyanyian Bang Iwan " ada tapi dianggap
tiada". Aku memang nyaman diPergaulanku di Pengajian dan lain lain tetapi medan itu sudah
terlalu tenang, sejuk dan damai. Dan disana bertambah pula keimananku. tapi lagi lagi aku
berpikir bukankah medan dakwahku justru disini . Ketawaku yang kadang kupaksakan tatkala
mendengar uraian teman2 gaulku yang sebenarnya tiada arti dan makna. Tapi inilah medan
yang harus kuhadapi. Dan ketika hati sudah gundah maka pendinginan dilakukan kembali
dilingkungan Pengajian.
Dan banyak lagi Kecemasan, Kegundahan, sakit Hati dan lain lain..... Perih perih Sekali
bahkan kadang kadang sampai hati terasa benar benar diremas secara Phisik. Tidak ingin
kutunjukan sedikitpun kalo aku tuh tidak suka sama pergaulan mereka, cara hidup mereka,
cara bertutur kata mereka, kalo aku tuh sakit hati karena canda mereka, bahkan
kusembunyikan air mataku yang kadang menetes ketika aku sudah tak tahan mendengar apa
yang mereka katakan. Walaupun malamnya aku akan menangis berlinangan air mata ketika ku
mengadu dan mengeluh padaNYA..............
Sakit yang bertubi tubi menjadikanku kebal terhadap segala macam tetek bengek, sedemikian
kegoncangan dan apa apa yang terjadi dihatiku tak terlihat pada wajahku dan tidak
terlontarkan oleh mulutku dengan kata kata, dan kegoncangan itu teredam dihatiku dengan
lafaz " Ya Allah, kepadaMUlah aku berserah diri dan kepadaMUlah keserahkan semuanya." ..
Ada peribahasa " Ketika kamu telah merasakan sakit yang luar biasa pada perasaanmu, maka
sakit yang lainya sudah terlupakan olehmu".
Aku bersyukur aku tidak beranjak dari teman teman gaulku, dari yang menoreh hatiku dengan
cinta, dari orang orang yang menyakitiku baik dengan kata kata dan perbuatan. Dan
setidaknya aku telah menyisipkan Kalimatullah diantara sel sel hati mereka dengan ataupun
tidak mereka sadari. Dan aku berharap dan berdoa setidaknya hal itu akan menggiring dan
mengarakanya kepada cahaya islam yang terang benderang....
dan Aku bersyukur niatku hidup untukNYA telah membentengiku dari hal yang tidak
diinginkan, kalaupun ada noda maka kuanggap itu manusiawiku dan sebagai pembelajaran
dariNYA....
Hi... Aku bukan tertidur tatkala keadaan tenang...
Hi....Aku bukan damai karena lingkungan sekelilingku tenang...
Hi....Aku tidak pernah lari dari medan dakwahku bahkan kucari dan ingin kutakhlukan....
Hi....Aku baik bukan karena aku berada dilingkungan baik saja...
Hi....Aku tidak berkoar koar kebenaran yang kadang semu didlm hidupku...
Hi....Aku tidak membela diriku dengan alasan apapun kecuali agar engkau sadar...
Tahukah kamu :
...Aku Sejuk dan damai karena kuberusaha ikhlas sebenar-benarnya ikhlas padaNYA....
Wassalam wr... wb....
Dari yang merindukan keikhlasan
Eko Wardoyo (6Maret 2004)
NB:Catatan diatas bukan semata mata diriku melainkan sesuatu yang kuimpikan dalam
hidupku...
DIMENSI KEIKHLASAN
DIMENSI KEIKHLASAN
IBADAT HAJI dan IDUL QURBAN
"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah,
yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah"
(QS. Ali Imran, 3:97)
Ibadat Haji dan Kain Ihram
Ratusan ribu, bahkan jutaan manusia muslim, hari-hari ini telah berkumpul di wilayah kota suci Mekkah. Mereka datang ke sana sebagai memenuhi panggilan Allah s.w.t. untuk melaksanakan ibadah haji. Mereka berpakaian seragam putih-putih, datang dari segenap pelosok duni, berbeda-beda warna kulitnya, bahasanya, kebangsaannya dan status sosialnya (QS. Al-Haj,22:27).
Sejak mereka meninggalkan tanah air menuju Mekkah, segala atribut keduniaan telah mereka tinggalkan. Apakah itu atribut yang berupa pakaian kedinasan, bintang kehormatan, gelar kesarjanaan dan lain sebagainya. Di sana tak ada lagi diskripsi kerena perbedaan golongan, jenis, pangkat, suku ataupun ststus sosial. Yang ada hanyalah pertujukan secara komunal kebrsamaan dan yang memegang peranan dalam pertunujkan ini adalah masing-masing pelaksana ibadah haji tersebut. Setiap orang diantara mereka dipandang sama. Suasana klimaks dan puncak pelaksanaan ritual dan seremonial ibadah haji ini, adalah pada tanggal 9 Dzul-Hijjah, ketika mereka melakukan wukuf di padang Arafah. Tanpa wukuf di Arafah ini, seseorang tidak dianggap sah idadah hajinya. Rasulullah s.a.w.menegaskan dalam sabdanya :
"(Ibadah) haji ini adalah wukuf di Arafah"
Suasana klimaks selanjutnya ialah pada tanggal 10 hingga 13 Dzul-Hijjah, yakni ketika mereka mabit di Muzdalifah, melontar jumrah di Mina, dan melaksanakan thawaf ifhadah dan sa’I di Masjidil Haram di Mekkah.
Pakaian dipakai saat wukuf di Arafah dan melempar jumrah Aqabah di Mina, hanyalah kain ihram, yakni dua helai kain putih yang tak berjahit yang satu helai diselendangkan di bahu sebelah kiri, dan yang satu lagi dililitkan dipinggang sebagai sarung. Kenapa pakaian yang mereka bawa dari tanah air diganti dan dilepas? Karena pada lazimnya, pakaian mewarnai watak manusia. Pakaian dapat melambangkan pola, pangkat, status dan perbedaan tertentu. Pakaian telah menciptakan batas-batas palsu yang menyebabkan timbulnya perbedaan dan perpecahan. Dari perpecahan ini biasanya timbul adan lahirlah diskriminasi, dan selanjutnya munculnya konsep aku bukan lagi kita. Aku dipergunakan dalam konteks-konteks seperti suku-ku, golongan-ku, kedudukan-ku, keluarga-ku, kelompok-ku. Aku berbeda dengan kamu, aku lebih super dari kamu, aku lebih hebat dari kamu. Semuanya adalah aku sebagai individu yang sombong, congkak, takabur, adigang-adigung-adiguna, bukan lagi aku sebagai manusia.
Dalam konteks inilah, maka setiap pelaku ibadah haji ini, sewaktu melaksanakan prosesi haji harus melepaskan pakaian kotor mereka, yakni pakaian kesombongan, pakaian kekejaman, pakaian penindasan, pakaian penipuan, pakaiankelicikan dan pakaian perbudakan, yang kesemuanya melambangkan watak dan karakter mereka. Dan kini yang harus mereka pakai hanyalah kain ihram, berwarna putih yang melambangkan kesucian dalam rangka melanjutkan perjalanan menuju Allah, mencari makna hidup untuk menjadi manusia seutuhnya.
Hikmah Ibadah Qurban
SETIAP ibadah pasti ada hikmahnya, meskipun tidak semua orang dapat mengetahui hikmah tersebut melalui penalaran akal pikirannya. Hanya Allah sendiri yang mengetahui rahasia dan hikmah seluruh ajaran agama yang diturunkan-Nya. Hikmah-hikmah Allah sendiri tersebut ada yang diungkap dalam kitab suci Al-Quran atau sunnah Rasul, ada pula yang tidak disinggung sama-sekali. Bagian hikmah yang tidak disinggung ini, hanya dapat diketahui dan dihayati oleh kalangan tertentu, yang dalam Al-Quran dinamakan Arrasikhuuna fil-‘ilmi, yakni mereka yang kuat imannya dan kelebihan ilmu oleh Allah, yang tidak diberikan kepada orang lain (QS Ali Imran, 3:7)
Di antara hikmah ibadah Qurban, ialah untuk mendekatkan diri atau taqarrub kepada Allah atas segala kenikmatan yang telah dilimpahkan-Nya yang jumlahnya demikian banyak, sehingga tak seorangpun dapat menghitungnya (QS Ibrahim, 14:34). Hikmah secara eksplisit dan tegas tentang ibadah qurban ini, telah diungkapkan dalam Al-Quran:
"… maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela
dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta)dan orang yang minta.
Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu,
Mudah-mudahan kamu bersyukur" (QS Al-Haj, 22:36)
Hikmah selanjutnya adalah dalam rangka menghidupkan sunnah para nabi terdahulu, khususnya sunnah Nabi Ibrahim, yang dikenal sebagai Bapak agama monoteisme (Tauhid), Ibadah qurban berasal dari pengurbanan agung yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim terhadap puteranya yang emenuhi perintah Allah. Allah sangat menghargai dan memuji pengurbanan Nabi Ibrahim yang dilandasi oleh iman dan takwanya yang tinggi dan murni, kemudian megganti puteranya Ismail yang akan dikurbankan itu dengan seekor hewan domba yang besar (QS Ash-Shaffat, 37:107).
Dan hikmah berikutnya adalah dalam rangka menghidupkan makna takbir di Hari Raya Idul Adha, dari tgl 10 hingga 13 Dzul-Hijjah, yakni Hari Nasar (penyembelihan) dan hari-hari tasyriq. Memang Syari-at agama kita menggariskan, bahwa pada setiap Hari Raya, baik Idul Fitri ataupun Idul Adha, setiap orang Islam diperintahkan untuk mengumandangkan takbir. Hal ini memberikan isyarat kepada kita, bahwa kebahagiaan yang hakiki, hanya akan terwujud, jika manusia itu dengan setulusnya bersedia memberikan pengakuan dan fungsi kehambaannya di hadapan Allah s.w.t. dan dengan setulusnya bersaksi dahwa hanya Allah sajalah yang Maha Besar,Maha Esa, Maha Perkasa dan sifat kesempurnaan lainya.
Kebahagiaannya yang sebenarnya akan tercapai, apabila manusia menyadari bahwa fungsi keberadaannya didunia ini hanyalah untuk menjadi hamba dan abdi Allah, bukan abdi dunia, ataupun abdi setan (QS Al-Dzarriyat, 51:56)
Di samping itu semua, Hari Raya Q urbanpun merupakan Hari Rayayang berdimensi sosial kemasyarakatan yang sangat dalam. Hal itu terlihat ketika pelaksanaan pemotongan hewan yang akan dikorbankan, para mustahik yang akan menerima daging-daging kurban itu berkumpul. Mereka satu sama lainya meluapkan rasa gembira dan sukacita yang dalam. Yang kaya dan yang miskin saling berpadu, berinteraksi sesamanya. Luapan kegembiraan di hari itu, terutama bagi orang miskin dan fakir, lebih-lebih dalam situasi krisi ekonomi dan moneter yang dialami sekarang ini, sangat tinggi nilainya, ketika mereka menerima daging hewan kurban tersebut.
Dimensi Keikhlasan Setiap Ibadah
AGAMA mengajarkan bahwa semua ibadah hendaknya dilakukan semata-mata ikhlas karena Allah (QS Al-An’am, 6:162-163). Tak terkecuali ibadah haji dan ibadah Qurban. Karena hanya dengan niat yang terikhlalah, akan terjamin kemurnian ibadah yang akan membawa pelaksanaannya dekat kepada Allah. Tanpa adanya keikhalsan hati, mustahil ibadah akan diterima Allah (QS Al-Bayyinah, 98:5)
Dalam kaitan dengan ibadah qurban, Allah menegaskan bahwa daging hewan yang diqurbankan itu tidak akan sampai kepada-Nya hanyalah ketaqwaan pelaksana qurban itu (QS Al-Haj, 22:37). Jadi Allah tidak mengharapkan daging dan darah hewan qurban itu, tetapi mental ketaqwaan ini tidak akan tumbuh di hati yang bersih dan ikhlas.
Ibadah qurban mempunyai hikmah untuk membersihkan hati agar menjadi lahan yang subur untuk tumbuhnya iman dan taqwa. Dengan demikian, dimensi keikhlasan sudah seharusnya menjadi landasan setiap amal perbuatan manusia, agar manusia mengorientasikan kehidupannya semata-mata untuk mencapai ridha Allah s.w.t. Dengan ikhlas beramal, berarti seseorang membebaskan dirinya dari segala bentuk rasa pamrih, agar amal yang diperbuat tidak bernilai semu dan bersifat palsu. Dengan keikhlasan, seseorang dapat mewujudkan amal sejati. Kesejatian setiap amal diukur dari sikap keikhlasan yang melandasinya. Dan kesediaan berqurban yang dilandasi rasa keikhalan semata-mata, dapat mengurangi atau mengekang sifat keserakahan dan ketamakan manusia untuk berlaku serakah dan tamak, namun kecenderungan itu dapat dieliminir dengan membangkitkan kesadarannya agar bersedia berqurban untuk sesamanya. Kesediaan berqurban mencerminkan adanya pengakuan akan hak-hak orang lain, yang seterusnya dapat menumbuhkan rasa solidaritas sosial yang tinggi.
Dengan syari’at qurban ini, kaum muslimin dilatih untuk menebalkan rasa kemanusiaannya, mengasah kepekaannya dan menghidupkan hati nuraninya. Ibadah qurban ini sarat dengan nilai kemanusiaan dan mengandung nilai-nilai sosial yang tinggi. Oleh karenanya orang Islam yang tidak mampu mewujudkan nilai-nilai kemasyarakatan, dianggapsebagai pendusta agama(QS Al-Ma’un, 107:1-3). Karena ibadah haji dan Idul Qurban kali ini datang di saat sebagian besar kaum muslimin sedang dalam kesulitan ekonomi, maka mari kita manfaatkan momen ini untuk mawas diri dengan lebih mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. Fastabiqul-khairat. Maka kita berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan.
Wallahu a’lam bishshawab
H. Abdullah Faqih.
Yang Terlupa Dari Keikhlasan
Yang Terlupa Dari Keikhlasan
Ikhlas, suatu kata yang sudah tidak asing lagi di telinga kaum muslimin. Sebuah kata yang singkat namun sangat besar maknanya. Sebuah kata yang seandainya seorang muslim terhilang darinya, maka akan berakibat fatal bagi kehidupannya, baik kehidupan dunia terlebih lagi kehidupannya di akhirat kelak. Ya itulah dia, sebuah keikhlasan. Amal seorang hamba tidak akan diterima jika amal tersebut dilakukan tidak ikhlas karena Allah.
Allah berfirman yang artinya,
“Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama kepada-Nya.” (Qs. Az Zumar: 2)
Keikhlasan merupakan syarat diterimanya suatu amal perbuatan di samping syarat lainnya yaitu mengikuti tuntunan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata,
“Perkataan dan perbuatan seorang hamba tidak akan bermanfaat kecuali dengan niat (ikhlas), dan tidaklah akan bermanfaat pula perkataan, perbuatan dan niat seorang hamba kecuali yang sesuai dengan sunnah (mengikuti Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam)”
Apa Itu Ikhlas ?
Banyak para ulama yang memulai kitab-kitab mereka dengan membahas permasalahan niat (dimana hal ini sangat erat kaitannya dengan keikhlasan), di antaranya Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya, Imam Al Maqdisi dalam kitab Umdatul Ahkam, Imam Nawawi dalam kitab Arbain An-Nawawi dan Riyadhus Shalihin-nya, Imam Al Baghowi dalam kitab Masobihis Sunnah serta ulama-ulama lainnya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya keikhlasan tersebut. namun, apakah sesungguhnya makna dari ikhlas itu sendiri ?
Ukhti muslimah, yang dimaksud dengan keikhlasan adalah ketika engkau menjadikan niatmu dalam melakukan suatu amalan hanyalah karena Allah semata, engkau melakukannya bukan karena selain Allah, bukan karena riya (ingin dilihat manusia) ataupun sum’ah (ingin didengar manusia), bukan pula karena engkau ingin mendapatkan pujian serta kedudukan yang tinggi di antara manusia, dan juga bukan karena engkau tidak ingin dicela oleh manusia. Apabila engkau melakukan suatu amalan hanya karena Allah semata bukan karena kesemua hal tersebut, maka ketahuilah saudaraku, itu berarti engkau telah ikhlas.
Fudhail bin Iyadh berkata,
“Beramal karena manusia adalah syirik, meninggalkan amal karena manusia adalah riya.”
Dalam Hal Apa Aku Harus Ikhlas ?
Sebagian manusia menyangka bahwa yang namanya keikhlasan itu hanya ada dalam perkara-perkara ibadah semata seperti sholat, puasa, zakat, membaca al qur’an , haji dan amal-amal ibadah lainnya. Namun ukhti muslimah, ketahuilah bahwa keikhlasan harus ada pula dalam amalan-amalan yang berhubungan dengan muamalah. Ketika engkau tersenyum terhadap saudarimu, engkau harus ikhlas. Ketika engkau mengunjungi saudarimu, engkau harus ikhlas. Ketika engkau meminjamkan saudarimu barang yang dia butuhkan, engkau pun harus ikhlas. Tidaklah engkau lakukan itu semua kecuali semata-mata karena Allah, engkau tersenyum kepada saudarimu bukan karena agar dia berbuat baik kepadamu, tidak pula engkau pinjamkan atau membantu saudarimu agar kelak suatu saat nanti ketika engkau membutuhkan sesuatu maka engkau pun akan dibantu olehnya atau tidak pula karena engkau takut dikatakan sebagai orang yang pelit. Tidak wahai saudariku, jadikanlah semua amal tersebut karena Allah.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Ada seorang laki-laki yang mengunjungi saudaranya di kota lain, maka Allah mengutus malaikat di perjalanannya, ketika malaikat itu bertemu dengannya, malaikat itu bertanya, “Hendak ke mana engkau ?” maka dia pun berkata “Aku ingin mengunjungi saudaraku yang tinggal di kota ini.” Maka malaikat itu kembali bertanya “Apakah engkau memiliki suatu kepentingan yang menguntungkanmu dengannya ?” orang itu pun menjawab: “Tidak, hanya saja aku mengunjunginya karena aku mencintainya karena Allah, malaikat itu pun berkata “Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk mengabarkan kepadamu bahwa sesungguhnya Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu itu karena-Nya.” (HR. Muslim)
Perhatikanlah hadits ini wahai ukhti, tidaklah orang ini mengunjungi saudaranya tersebut kecuali hanya karena Allah, maka sebagai balasannya, Allah pun mencintai orang tersebut. Tidakkah engkau ingin dicintai oleh Allah wahai ukhti ?
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah engkau menafkahi keluargamu yang dengan perbuatan tersebut engkau mengharapkan wajah Allah, maka perbuatanmu itu akan diberi pahala oleh Allah, bahkan sampai sesuap makanan yang engkau letakkan di mulut istrimu.” (HR Bukhari Muslim)
Renungkanlah sabda beliau ini wahai ukhti, bahkan “hanya” dengan sesuap makanan yang seorang suami letakkan di mulut istrinya, apabila dilakukan ikhlas karena Allah, maka Allah akan memberinya pahala. Bagaimana pula dengan pengabdianmu terhadap suamimu yang engkau lakukan ikhlas karena Allah ? bukankah itu semua akan mendapat ganjaran dan balasan pahala yang lebih besar? Sungguh merupakan suatu keberuntungan yang amat sangat besar seandainya kita dapat menghadirkan keikhlasan dalam seluruh gerak-gerik kita.
Berkahnya Sebuah Amal yang Kecil Karena Ikhlas
Ukhti muslimah yang semoga dicintai oleh Allah, sesungguhnya yang diwajibkan dalam amal perbuatan kita bukanlah banyaknya amal namun tanpa keikhlasan. Amal yang dinilai kecil di mata manusia, apabila kita melakukannya ikhlas karena Allah, maka Allah akan menerima dan melipat gandakan pahala dari amal perbuatan tersebut.
Abdullah bin Mubarak berkata,
“Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar karena niat, dan betapa banyak pula amal yang besar menjadi kecil hanya karena niat.”
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Seorang laki-laki melihat dahan pohon di tengah jalan, ia berkata: Demi Allah aku akan singkirkan dahan pohon ini agar tidak mengganggu kaum muslimin, Maka ia pun masuk surga karenanya.” (HR. Muslim)
Lihatlah ukhti, betapa kecilnya amalan yang dia lakukan, namun hal itu sudah cukup bagi dia untuk masuk surga karenanya.
Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Dahulu ada seekor anjing yang berputar-putar mengelilingi sumur, anjing tersebut hampir-hampir mati karena kehausan, kemudian hal tersebut dilihat oleh salah seorang pelacur dari bani israil, ia pun mengisi sepatunya dengan air dari sumur dan memberikan minum kepada anjing tersebut, maka Allah pun mengampuni dosanya.” (HR Bukhari Muslim)
Subhanallah, seorang pelacur diampuni dosanya oleh Allah hanya karena memberi minum seekor anjing, betapa remeh perbuatannya di mata manusia, namun dengan hal itu Allah mengampuni dosa-dosanya. Maka bagaimanakah pula apabila seandainya yang dia tolong adalah seorang muslim ? Dan sebaliknya, wahai ukhti, amal perbuatan yang besar nilainya, seandainya dilakukan tidak ikhlas, maka hal itu tidak akan berfaedah baginya.
Dalam sebuah hadits dari Abu Umamah Al Bahili, dia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan bertanya:
“Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berperang untuk mendapatkan pahala dan agar dia disebut-sebut oleh orang lain?” maka Rasulullah pun menjawab: “Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Orang itu pun mengulangi pertanyaannya tiga kali, Rasulullah pun menjawab: “Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Kemudian beliau berkata: “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amalan kecuali apabila amalan itu dilakukan ikhlas karenanya.” (Hadits Shahih Riwayat Abu Daud dan Nasai).
Dalam hadits ini dijelaskan bahwa seseorang yang dia berjihad, suatu amalan yang sangat besar nilainya, namun dia tidak ikhlas dalam amal perbuatannya tersebut, maka dia pun tidak mendapatkan balasan apa-apa.
Buah dari Ikhlas
Untuk mengakhiri pembahasan yang singkat ini, maka kami akan membawakan beberapa buah yang akan didapatkan oleh orang yang ikhlas. Seseorang yang telah beramal ikhlas karena Allah (di samping amal tersebut harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka keikhlasannya tersebut akan mampu mencegah setan untuk menguasai dan menyesatkannya. Allah berfirman tentang perkataan Iblis laknatullah alaihi yang artinya: Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, Kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka.” (Qs. Shod: 82-83). Buah lain yang akan didapatkan oleh orang yang ikhlas adalah orang tersebut akan Allah jaga dari perbuatan maksiat dan kejelekan, sebagaimana Allah berfirman tentang Nabi Yusuf yang artinya “Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang ikhlas. “ ( Qs. Yusuf : 24). Pada ayat ini Allah mengisahkan tentang penjagaan Allah terhadap Nabi Yusuf sehingga beliau terhindar dari perbuatan keji, padahal faktor-faktor yang mendorong beliau untuk melakukan perbuatan tersebut sangatlah kuat. Akan tetapi karena Nabi Yusuf termasuk orang-orang yang ikhlas, maka Allah pun menjaganya dari perbuatan maksiat. Oleh karena itu wahai ukhti, apabila kita sering dan berulang kali terjatuh dalam perbuatan kemaksiatan, ketahuilah sesungguhnya hal tersebut diakibatkan minim atau bahkan tidak adanya keikhlasan di dalam diri kita, maka introspeksi diri dan perbaikilah niat kita selama ini, semoga Allah menjaga kita dari segala kemaksiatan dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang ikhlas. Amin ya Rabbal alamin.
***
Penulis: Abu ‘Uzair Boris Tanesia
Muroja’ah: Ust. Ahmad Daniel, Lc.
Artikel www.muslimah.or.id
Muroja’ah: Ust. Ahmad Daniel, Lc.
Artikel www.muslimah.or.id
Senin, 12 April 2010
SIRAH NABAWIYYAH
(DR. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy)
(DR. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy)
Pentingnya Sirah Nabawiyah untuk memahami Islam
Tujuan dalam mengkaji Sirah Nabawiyah ialah agar setiap muslim memperoleh gambaran tentang hakikat Islam secara paripurna, yang tercermin didalam kehidupan nabi Muhammad saw, setelah dipahami secara konsepsional sebagai prinsip, kaidah dan hukum.
Yang dapat diperinci sbb:
1. Memahami kepribadian Rasulullah saw, bukan hanya sebagai genial diantara kaumnya, tetapi sebelum itu beliau adalah seorang Rasul yang didukung oleh Allah dengan wahyu dan taufiq dari-Nya
2. Agar manusia mendapatkan gambaran al-Matsal al A’la (tipe yang ideal) menyangkut seluruh kehidupan yang utama untuk dijadikan undang-undang dan pedoman kehidupannya. (QS. Al Ahzab:21)
3. Agar manusia memahami Kitabullah dan semangat tujuannya, karena banyak ayat-ayat Al Qur’an yang baru bisa ditafsirkan dan dijelaskan maksudnya melalui peristiwa-peristiwa yang pernah dihadapi Rasulullah saw dan disikapinya
4. Dengan mengkaji Sirah Nabawiyah, maka seorang muslim mendapatkan banyak tsaqofah dan pengetahuan islam yang benar, baik yang menyangkut aqidah, hukum ataupun akhlaq
5. Agar setiap pembina dan da’i Islam mendapatkan contoh hidup menyangkut cara-cara pembinaan dan da’wah
1. Memahami kepribadian Rasulullah saw, bukan hanya sebagai genial diantara kaumnya, tetapi sebelum itu beliau adalah seorang Rasul yang didukung oleh Allah dengan wahyu dan taufiq dari-Nya
2. Agar manusia mendapatkan gambaran al-Matsal al A’la (tipe yang ideal) menyangkut seluruh kehidupan yang utama untuk dijadikan undang-undang dan pedoman kehidupannya. (QS. Al Ahzab:21)
3. Agar manusia memahami Kitabullah dan semangat tujuannya, karena banyak ayat-ayat Al Qur’an yang baru bisa ditafsirkan dan dijelaskan maksudnya melalui peristiwa-peristiwa yang pernah dihadapi Rasulullah saw dan disikapinya
4. Dengan mengkaji Sirah Nabawiyah, maka seorang muslim mendapatkan banyak tsaqofah dan pengetahuan islam yang benar, baik yang menyangkut aqidah, hukum ataupun akhlaq
5. Agar setiap pembina dan da’i Islam mendapatkan contoh hidup menyangkut cara-cara pembinaan dan da’wah
Oleh karena itu kajian Sirah Nabawiyah ini tidak lain hanya menampakkan aspek-aspek kemanusiaan ini secara eseluruhan yang tercermin dalam suri tauladan yang paling sempurna dan terbaik.
Sumber-Sumber Sirah Nabawiyah 1. Kitab Allah
Merupakan rujukan pertama dalam memahami sifat-sifat umum Rasulullah saw dan mengenal tahap-tahap umum dari sirah, dengan cara penyampaian sbb:
Merupakan rujukan pertama dalam memahami sifat-sifat umum Rasulullah saw dan mengenal tahap-tahap umum dari sirah, dengan cara penyampaian sbb:
- Mengemukakan sebagian kejadian dari kehidupan dan sirahnya, cont: ayat-ayat yg menjelaskan ttg perang Badar, Uhud, Khandaq dan Hunain, serta pernikahan beliau dgn Zainab binti Jahsyi
- Mengomentari kasus-kasus dan peristiwa-peristiwa yang terjadi untuk menjawab masalah-masalah yang timbul atau mengungkapkan masalah yg belum jelas.
- Mengomentari kasus-kasus dan peristiwa-peristiwa yang terjadi untuk menjawab masalah-masalah yang timbul atau mengungkapkan masalah yg belum jelas.
Akan tetapi pembahasan tsbt di dalam Al Qur’an disampaikan secara terputus-putus dan disajikan secara global serta sekilas tentang beberapa peristiwa dan berita
2. Sunnah Nabawiyah yang shahih
Seperti yang terkandung dalam kitab-kitab hadist yang enam, Muwaththa’ Imam Malik dan Musnad Imam Ahmad. Namun belum tersusun secara urut dan sistematis dalam memberikan gambaran kehidupan Rasulullah saw sejak lahir hingga wafat. Hal ini dikarenakan:
- Pembahasan berdasarkan bab-bab Fiqh atau sesuai dgn satuan pembahasan yang berkaitan dgn syari’at Islam
- Para Imam hadist, khususnya al Kutub as-Sittah, ketika menghimpun hadist-hadist Rasulullah saw tidak mencatat riwayat sirahnya secara terpisah tetapi hanya mencatat dalil-dalil syari’ah secara umum yang diperlukan
Seperti yang terkandung dalam kitab-kitab hadist yang enam, Muwaththa’ Imam Malik dan Musnad Imam Ahmad. Namun belum tersusun secara urut dan sistematis dalam memberikan gambaran kehidupan Rasulullah saw sejak lahir hingga wafat. Hal ini dikarenakan:
- Pembahasan berdasarkan bab-bab Fiqh atau sesuai dgn satuan pembahasan yang berkaitan dgn syari’at Islam
- Para Imam hadist, khususnya al Kutub as-Sittah, ketika menghimpun hadist-hadist Rasulullah saw tidak mencatat riwayat sirahnya secara terpisah tetapi hanya mencatat dalil-dalil syari’ah secara umum yang diperlukan
Keistimewaan sumber kedua ini adalah, bahwa sebagian besar isinya diriwayatkan dengan sanad shahih yang bersambung kepada Rasulullah saw atau para sahabat yang merupakan sumber yang manqul, walaupun adapula yang dhaif yang tidak dapat dijadikan hujjah.
3. Kitab-kitab Sirah
Kajian sirah dimasa lalu diambil dari riwayat-riwayat pada masa sahabat yang disampaikan secara turun temurun tanpa ada yg memperhatikan untuk menyusun/ menghimpunnya dalam satu kitab.
Kajian sirah dimasa lalu diambil dari riwayat-riwayat pada masa sahabat yang disampaikan secara turun temurun tanpa ada yg memperhatikan untuk menyusun/ menghimpunnya dalam satu kitab.
Baru pada masa tabi’in sirah Nabawiyah disusun, diantaranya oleh Urwah bin Zubair, Aban bin Ustman, Syurahbil bin Sa’d, Wahab bin Munabbih dan Ibnu Syihab az-Zuhri. Akan tetapi semua yang mereka tulis ini lenyap, kecuali beberapa bagian yang sempat diriwayatkan oleh Imam ath-Thabari. Ada yg mengatakan, bahwa sebagian tulisan Wahab bin Munabbih sampai sekarang masih tersimpan di Heidelberg, German.
Kemudian muncul tokoh berikutnya, yaitu Muhammad bin Ishaq dengan kitabnya al-Maghazi, Al-waqidi dan Muhammad bin Sa’d, penyusun kitab Ath-Thabaqat al Kubra. Kitab al-Maghazi ini merupakan data yg paling terpercaya, namun kitab ini turut pula musnah pada masa itu.
Kemudian muncul Abu Muhammad Abdu’l Malik (Abu Hisyam), setengah abad setelah Ibnu Ishaq, yang menyempurnakan dan meringkas kitab al-Maghazi karangan Ibnu Ishaq tsbt.
Rahasia dipilihnya Jazirah Arab sebagai tempat kelahiran dan pertumbuhan Islam
1. Kondisi umat-umat yang hidup di sekitar jazirah Arab sebelum Islam
Saat itu dunia dikuasai oleh 2 negara adidaya: Persia dan Romawi, kemudian menyusul India dan Yunani. Dimana pada saat itu negara-negara tsbt berada dalam puncak kebejatan baik dari segi moral/akhlaq dan agama, cont: Persia dgn filsafat Zoroaster, Romawi dgn semangat kolonialismenya.
Sedangkan Jazirah Arab pada masa itu jauh dari kegoncangan tsbt. Mereka tidak memiliki kemewahan, peradaban, kekuatan militer dan juga filosofi sebagaimana negara-negara disekitarnya. Mereka hidup didalam kegelapan, kebodohan dan alam fitrah yang pertama, Akibatnya, mereka sesat dan tidak menemukan nilai-nilai kemanusiaan. Membunuh anak dgn dalih kemuliaan dan kesucian, memusnahkan harta dgn dalih kedermawanan dan berperang diantara mereka dgn dalih harga diri dan kepahlawanan. (QS Al Baqarah:198)
2. Terletak ditengah-tengah umat yang ada pergolakan diantara 2 peradaban, yaitu: Barat, dengan materilaitisnya dan Timur dengan spiritualismenya sebagaiman yg telah dijelaskan diatas.
Sehingga orang-orang yang hidup “dimasa pencarian” tidak akan mengingkari kebodohannya dan tidak akan membanggakan peradaban dan kebudayaan yang tidak dimilikinya. Oleh karena itu lebih mudah disembuhkan dan diarahkan.
3. Nabi yang ummi, tidak bisa membaca dan menulis, agar manusia tidak ragu akan kenabiannya dan kebenaran da’wahnya. Adalah kesempurnaan hikmah Ilahiyah, jika bi’ah (lingkungan) tempat diutusnya Rasulullah dijadikan juga sbg bi’ah ummiyah (lingkungan yang ummi), bila dibandingkan dgn umat-umat lain yang ada disekitarnya; yakni tidak terjangkau sama sekali oleh peradaban-peradaban tetangganya. Seperti halnya akan timbul keraguan di dada manusia apabila Rasulullah saw adalah orang yang terpelajar dan pandai bergaul dgn kitab-kitab, sejarah umat-umat terdahulu dan semua peradaban negara-negara di sekitarnya. (QS.Al Jumuáh:2)
4. Baitul Haram merupakan tempat berkumpulnya manusia (QS. Al Baqarah:125) dan rumah pertama yang dibangun bagi manusia untuk beribadah, terletak di Jazirah Arab
5. Secara Geografis sangat kondusif untuk mengemban da´wah, sehingga mempermudah penyebaran Islam
6. Bahasa Arab memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya
5. Secara Geografis sangat kondusif untuk mengemban da´wah, sehingga mempermudah penyebaran Islam
6. Bahasa Arab memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya
Tarbiyah Ruhiyah
DR. Abdullah Nashih Ulwan
Dalam Q.S. Al Anfaal:29
“Hai orang2 yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu ´´furqaan´´ dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar“
Dan dalam Q.S. Al Hadid:28
“Hai orang2 ynag beriman, bertaqwallah kpd Allah dan beriman kepada Rasul-Nya niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu bisa berjalan dan dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“
Jika kita renungkan ayat tersebut diatas, maka dengan TAQWA kpd Allah, Allah akan:
1. Memberikan furqaan kepada orang mu´min, yang dgnnya kita dapat membedakan antara yang haq dan yang bathil
2. Mengahapuskan segala kesalahan2 kita
3. Mengampuni dosa2 kita
4. Memberikan cahaya yang akan menerangi kehidupan kita, sehingga kt akan selalu mendapatkan jalan keluar yang baik dr setiap permasalahan yang dihadapi
Hakikat Taqwa
Taqwa lahir dari konsekuensi logis dari keimanan yyang kokoh, keimanan yang selalu dipupuk dgn Muroqobatullah, mersa takut terhadap murka dan adzab-Nya, dan selalu berharap limpahan karunia dan maghfirah-Nya. Atau seperti yang didefinisikan para ulama: Taqwa adalah hendaklah Allah tidak melihat kamu berada dalam larangan-larangan-Nya dan tidak kehilangan kamu dalam perintah-perintah-Nya.
Jalan untuk mencapai Taqwa
1. Muáhadah (Mengingat perjanjian)
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji….“ (Q.S.An Nahl:91)
Yaitu perjanjian seperti yang terdapat didlm Q.S. Al A´raf:172 dan Al Fatihah:5
2. Muroqobah (Merasakan kesertaan Allah)
“Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (u/ shalat) dan melihat pula perubahan gerak badanmu diantara orang2 yang sujud“ (Q.S. Asy Syura:218-219)
Dan dalam Hadist ttg Ihsan:
“Hendaklah kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya dan jika memang kamu tidak melihatNya, maka sesungguhnya Allah melihat kamu“
Ibadah yang bagaimana yang bisa membuat Allah suka/cinta terhadap ibadah kita tsbt. Perbanyak Dzikir (mengingat Allah). Imam Hasan Al Bashri berkata, “Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada seorang hamba yang selalu mempertimbangkan niatnya. Bila semata-mata karena Allah maka dilaksanakannya tetapi jika sebaliknya maka ditinggalkannya“.
Macam-macam Muraqobah:
- Muroqobah dalam melaksanakan ketaatan kepada-Nya, yaitu dengan Ikhlas
- Muroqobah dalam kemaksiatan adalah dgn taubat, penyesalan dan meninggalkannya secara total
- Muroqobah dalam hal2 yang mubah adalah dgn menjaga adab2 terhadap Allah dan bersyukur atas segala nikmat-Nya
- Muroqobah dalam musibah adalah dengan ridha terhadap ketentuan-Nya serta memohon pertolongan-Nya dgn penuh kesabaran
3. Muhasabah (Interospeksi diri)
“Hai orang2 yang beriman , bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya u/ hari esok (akhirat) dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang telah kamu kerjakan“
(Q.S. Al Hasyr:18)
Bagaimana mungkin bisa memperbaiki diri jika tidak ada muhasabah, tanpa muhasabah maka tidaka akan ada perubahan
4. Muáqobah (Pemberian sanksi)
“Dan dalam qishah itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang2 yang berakal, supaya kamu bertaqwa´´ (Q.S. Al Baqarah:178)
Apabila seorang mu´min menemukan kesalahan maka tidak pantas baginya untuk membiarkannya. Sebab membiarkan diri dalam kesalahan akan mempermudah terlanggarnya kesalahan2 yang lain dan akan semakin sulit untuk meninggalkannya. Sanksi itu harus dgn sesuatu yang mubah, tidak boleh dgn sanksi yang haram5. Mujahadah (Optimalisasi)
Mujahadah sebagaimana dl Q.S. Al ankabuut:69
“Dan orang2 yang berjihad u/ (mencari keridhaan) Kami, benar2 akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan2 Kami. Dan sesungguhNya Allah benar2 beserta orang2 yang berbuat baik´´
berarti apabila seorang mu´min terseret dalam kemalasan, santai, cinta dunia dan tidak lagi melaksanakan amal2 sunnah serta ketaatan lainnya tepat pada waktunya mala ia harus memaksa dirinya melakukan amal2 sunnah lebih banyak dari sebelumnya.Beramal hendaknya jangan seadanya. Bersungguh2lah dalam keadaan apapun dan dalam melakukan amalan apa saja. Dalam sebuah Hadist Qudsi:
“Dari Abu Hurairah bahwa beliau berkata, Rasulullah bersabda:“Sesungguhnya Allah berfirman: Tidaklah seorang hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai selain dari amalan2 wajib dan seorang hambaKu senantiasa mendekat kepada-Ku dengan melakukan amalan2 sunnat, sehingga Aku mencintgainya. Apabila Aku telah mencintai-Nya, maka Akulah yang menjadi pendengarannya dan sebagai tangan yang digunakannya untuk memeganagn dan kaki yang dia pakai u/ berjalan dan apabila ia memohon kepada-Ku pasti Kukabulkan, dan jika berlindung kepada-Ku pasti Ku lindungi.’’
SURAT AL IKHLAS
al-Ikhlas
الإخلاص
Informasi
Arti Memurnikan Keesaan Allah
Nama lain Qul Huwallah, Nisbatur Rabbi[1], at-Tafrid[2], at-Tajrid[2], al-Wilayah[2], al-Ma'arifah[2], al-Jamal[2], Qasyqasy[2], al-Mudzakkirah[2], as-Shamad[2], al-Amin[2]
Klasifikasi Makkiyah
Surah ke 112
Juz Juz 30
Statistik
Jumlah ruku' 1 ruku'
Jumlah ayat 4 ayat
Surah Al-Ikhlas (Arab:الإخلاص, "Memurnikan Keesaan Allah") adalah surah ke-112 dalam al-Qur'an. Surah ini tergolong surah Makkiyah, terdiri atas 4 ayat dan pokok isinya adalah menegaskan keesaan Allah sembari menolak segala bentuk penyekutuan terhadap-Nya. Kalimat inti dari surah ini, "Allahu ahad, Allahus shamad" (Allah Maha Esa, Allah tempat bergantung), sering muncul dalam uang dinar emas pada zaman Kekhalifahan dahulu. Sehingga, kadang kala kalimat ini dianggap sebagai slogan negara Khilafah Islamiyah, bersama dengan dua kalimat Syahadat.
Daftar isi
* 1 Asbabun Nuzul
* 2 Keutamaan
o 2.1 Dalam kisah-kisah Islam
o 2.2 Keutamaan lain
* 3 Referensi
* 4 Pranala luar
Asbabun Nuzul
Ada beberapa hadits yang menjelaskan Asbabun Nuzul surah ini yang mana seluruhnya mengacu pada inti yang sama yaitu jawaban atas permintaan penggambaran sifat-sifat Allah dimana Allah itu Esa (Al-Ikhlas [112]:1), segala sesuatu tergantung pada-Nya (Al-Ikhlas [112]:2), tidak beranak dan diperanakkan (Al-Ikhlas [112]:3), dan tidak ada yang setara dengan Dia (Al-Ikhlas [112]:4).
Dilihat dari peristiwa paling pertama, Abdullah bin Mas'ud meriwayatkan bahwa sekelompok Bani Quraisy pernah meminta Nabi Muhammad untuk menjelaskan leluhur Allah dan kemudian turun surah ini. Riwayat lain bersumber dari Ubay bin Ka'ab dan Jarir bin Abdillah yang menyebutkan bahwa kaum Musyrikin berkata kepada Nabi Muhammad, "Jelaskan kepada kami sifat-sifat Tuhanmu." Kemudian turun surah ini untuk menjelaskan permintaan itu.[3] Dalam hadits ini, hadits yang bersumber dari Jarir bin Abdullah dijadikan dalil bahwa surah ini Makkiyah. Selain itu dari Ibnu Abbas dan Sa'id bin Jubair menyebutkan bahwa kaum Yahudi yang diantaranya Kab bin Ashraf dan Huyayy bin Akhtab datang menemui Nabi dan bertanya hal yang sama dengan hadits pertama, kemudian turun surah ini.[4] Dalam hadits ini Sa'id bin Jubair menegaskan bahwa surah ini termasuk Madaniyah. Dan juga riwayat Qatadah menyebutkan Nabi Muhammad didatangi kaum Ahzab (Persekutuan antara kaum Bani Quraisy, Yahudi Madinah, Bani Ghatafan dari Thaif dan Munafiqin Madinah dan beberapa suku sekitar Makkah) yang juga menyanyakan gambaran Allah dan diikuti dengan turunnya surah ini.
Karena adanya berbagai sumber yang berbeda, status surah ini Makkiyah atau Madaniyah masih dipertanyakan dan seolah-olah sumber-sumbernya tampak kotradiksi satu-sama lain. Menurut Abul A'la Maududi, dari hadits-hadits yang meriwayatkannya, dilihat dari peristiwa yang paling awal terjadi, surah ini termasuk Makkiyah. Peristiwa yang pertama terjadi yaitu pada periode awal Islam di Mekkah yaitu ketika Bani Quraisy menanyakan leluhur Allah. Kemudian peristiwa berikutnya terjadi di Madinah dimana orang Nasrani atau orang Arab lain menanyakan gambaran Allah dan kemudian turun surah ini. Menurut Madudi, sumber-sumber yang berlainan tersebut menujukkan bahwa surah itu diturunkan berulang-ulang. Jika di suatu tempat ada Nabi Muhammad dan ada yang mengajukan pertanyaan yang sama dengan peristiwa sebelumnya, maka ayat atau surah yang sama akan diwahyukan kembali untuk menjawab pertanyaan tersebut. Selain itu, bukti bahwa surah ini Makkiyah adalah ketika Bilal bin Rabah disiksa majikannya Umayyah bin Khalaf setelah memeluk Islam. Saat disiksa ia menyeru, "Allahu Ahad, Allahu Ahad!!" (Allah Yang Maha Esa, Allah Yang Maha Esa!!). Peristiwa ini terjadi di Mekkah dalam periode awal Islam sehingga menunjukkan bahwa surah ini pernah diturunkan sebelumnya dan Bilal terinspirasi ayat surah ini.[5]
Pendapat lain yaitu menurut as-Suyuthi. Menurutnya kata "al-Musyrikin" dalam hadits yang bersumber dari Ubay bin Ka'ab tertuju pada Musyrikin dari kaum Ahzab, sehingga mengindikasikan bahwa surah ini Madaniyyah sesuai dengan hadits Ibnu Abbas. Dan dengan begitu menurutnya tidak ada pertentangan antara dua hadits tersebut jika surah ini Madaniyah. Keterangan ini diperkuat juga oleh riwayat Abus Syaikh di dalam Kitab al-Adhamah dari Aban yang bersumber dari Anas yang meriwayatkan bahwa Yahudi Khaibar datang menemui Nabi dan berkata, "Hai Abal Qasim! Allah menjadikan malaikat dari cahaya hijab, Adam dari tanah hitam, Iblis dari api yang menjulang, langit dari asap, dan bumi dari buih air. Cobalah terangkan kepada kami tentang Tuhanmu." Nabi tidak menjawab dan kemudian Jibril membawa wahyu surah ini untuk menjawab permintaan Yahudi Khaibar.[6]
Keutamaan
Dalam kisah-kisah Islam
Dalam beberapa hadits dikatakan bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa pahala membaca sekali surah Al-Ikhlas sama dengan membaca sepertiga Al-Qur'an sehingga membaca 3 kali surah ini sama dengan mengkhatam Al-Qur'an. Kisah terkait hadits itu terekam dalam beberapa kisah. Seperti kisah ketika Nabi bertanya kepada sahabatnya untuk mengkhatam Al-Qur'an dalam semalam. Umar menganggap mustahil hal itu, namun begitu Ali menyanggupinya. Umar kemudian menganggap Ali belum mengerti maksud Nabi karena masih muda. Ali kemudian membaca surah Al-Ikhlas sebanyak 3 kali dan Nabi Muhammad membetulkan itu. Dalam hadits-hadits terkait hal ini, keutamaan surah Al-Ikhlas sangat memiliki peran dalam Al-Qur'an sehingga sekali membacanya sama dengan membaca sepertiga Al-Qur'an.
Riwayat Anas bin Malik juga merekam kisah berkaitan surah Al-Ikhlas yaitu dimana 70.000 malaikat diutus kepada seorang sahabat di Madinah yang meninggal hingga meredupkan cahaya matahari. 70.000 malaikat itu diutus hanya karena ia sering membaca surah ini. Dan karena banyaknya malaikat yang diutus, Anas bin Malik yang saat itu bersama Nabi Muhammad di Tabuk merasakan cahaya matahari redup tidak seperti biasannya dimana kemudian malaikat Jibril datang memberitakan kejadian yang sedang terjadi di Madinah.
Dalam riwayat Ibnu Abbas disebutkan Nabi Muhammad ketika melakukan Isra' ke langit, melihat Arsy di atas 360.000 sendi dimana jarak antar sendi 300.000 tahun perjalanan. Pada tiap sendi terdapat padang Sahara sebanyak 12.000 dan luas tiap satu padang sahara itu adalah dari timur ke barat. Pada setiap padang Sahara itu juga terdapat 80.000 malaikat dimana setiap malaikat membaca surah Al-Ikhlas dan setelah membaca itu mereka berdoa agar pahala mereka diberikan kepada orang yang membaca al-Ikhlas, laki-laki maupun perempuan.
Selain itu Nabi Muhammad juga pernah berkata bahwa Qul Huwallahu Ahad (ayat 1) tertulis pada sayap Jibril, Allahus Shamad (ayat 2) pada sayap Mikail, Lam Yalid Walam Yuulad (ayat 3) pada sayap Izrail, dan Walam Yaqullahu Khufuwan Ahad (ayat 4) pada sayap Israfil. Dan yang membaca al-Ikhlas memperoleh pahala membaca Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur'an. Lalu berkaitan sahabat, Nabi pernah berkata bahwa Qul Huwallahu Ahad (ayat 1) tertulis pada dahi Abu Bakar, Allahus Shamad (ayat 2) pada dahi Umar, Lam Yalid Walam Yuulad (ayat 3) pada dahi Utsman, dan Walam Yaqullahu Khufuwan Ahad (ayat 4) pada dahi Ali.[7]
Sedangkan hadits lain menyebutkan bahwa ketika orang membaca al-Ikhlas ketika sakit hingga ia meninggal, ia tidak membusuk dalam kubur dan akan dibawa malaikat dengan sayapnya melintasi Siratul Mustaqim menuju surga.[8]
Referensi
1. ^ Thabathaba'i, Allamah MH. 1987. Mengungkap Rahasia Al-Qur'an. Bandung: Mizan
2. ^ a b c d e f g h i "Nama-nama lain dari Surah Al-Ikhlas", Hidayah, Februari 2009
3. ^ Musnad Ahmad, Ibnu Abi Harim, Ibnu Jarir, Tirmidhi, Bukhari dalam At-Tarikh,
Ibnu al-Mundhir, Hakim, Baihaqi
4. ^ Ibnu Abi Hatim, Ibnu Adi, Baihaqi dalam Al-Asma was-Sifat
5. ^ The Noble Qur'an. Madudi's Introduction of Al-Ikhlas.
6. ^ Al-Qur'an Digital. Ver.2.1. Surah Al-Ikhlas:1
7. ^ Kitab Hayatun Quluubi
8. ^ Kitab Tadzikaratul Qurthuby
الإخلاص
Informasi
Arti Memurnikan Keesaan Allah
Nama lain Qul Huwallah, Nisbatur Rabbi[1], at-Tafrid[2], at-Tajrid[2], al-Wilayah[2], al-Ma'arifah[2], al-Jamal[2], Qasyqasy[2], al-Mudzakkirah[2], as-Shamad[2], al-Amin[2]
Klasifikasi Makkiyah
Surah ke 112
Juz Juz 30
Statistik
Jumlah ruku' 1 ruku'
Jumlah ayat 4 ayat
Surah Al-Ikhlas (Arab:الإخلاص, "Memurnikan Keesaan Allah") adalah surah ke-112 dalam al-Qur'an. Surah ini tergolong surah Makkiyah, terdiri atas 4 ayat dan pokok isinya adalah menegaskan keesaan Allah sembari menolak segala bentuk penyekutuan terhadap-Nya. Kalimat inti dari surah ini, "Allahu ahad, Allahus shamad" (Allah Maha Esa, Allah tempat bergantung), sering muncul dalam uang dinar emas pada zaman Kekhalifahan dahulu. Sehingga, kadang kala kalimat ini dianggap sebagai slogan negara Khilafah Islamiyah, bersama dengan dua kalimat Syahadat.
Daftar isi
* 1 Asbabun Nuzul
* 2 Keutamaan
o 2.1 Dalam kisah-kisah Islam
o 2.2 Keutamaan lain
* 3 Referensi
* 4 Pranala luar
Asbabun Nuzul
Ada beberapa hadits yang menjelaskan Asbabun Nuzul surah ini yang mana seluruhnya mengacu pada inti yang sama yaitu jawaban atas permintaan penggambaran sifat-sifat Allah dimana Allah itu Esa (Al-Ikhlas [112]:1), segala sesuatu tergantung pada-Nya (Al-Ikhlas [112]:2), tidak beranak dan diperanakkan (Al-Ikhlas [112]:3), dan tidak ada yang setara dengan Dia (Al-Ikhlas [112]:4).
Dilihat dari peristiwa paling pertama, Abdullah bin Mas'ud meriwayatkan bahwa sekelompok Bani Quraisy pernah meminta Nabi Muhammad untuk menjelaskan leluhur Allah dan kemudian turun surah ini. Riwayat lain bersumber dari Ubay bin Ka'ab dan Jarir bin Abdillah yang menyebutkan bahwa kaum Musyrikin berkata kepada Nabi Muhammad, "Jelaskan kepada kami sifat-sifat Tuhanmu." Kemudian turun surah ini untuk menjelaskan permintaan itu.[3] Dalam hadits ini, hadits yang bersumber dari Jarir bin Abdullah dijadikan dalil bahwa surah ini Makkiyah. Selain itu dari Ibnu Abbas dan Sa'id bin Jubair menyebutkan bahwa kaum Yahudi yang diantaranya Kab bin Ashraf dan Huyayy bin Akhtab datang menemui Nabi dan bertanya hal yang sama dengan hadits pertama, kemudian turun surah ini.[4] Dalam hadits ini Sa'id bin Jubair menegaskan bahwa surah ini termasuk Madaniyah. Dan juga riwayat Qatadah menyebutkan Nabi Muhammad didatangi kaum Ahzab (Persekutuan antara kaum Bani Quraisy, Yahudi Madinah, Bani Ghatafan dari Thaif dan Munafiqin Madinah dan beberapa suku sekitar Makkah) yang juga menyanyakan gambaran Allah dan diikuti dengan turunnya surah ini.
Karena adanya berbagai sumber yang berbeda, status surah ini Makkiyah atau Madaniyah masih dipertanyakan dan seolah-olah sumber-sumbernya tampak kotradiksi satu-sama lain. Menurut Abul A'la Maududi, dari hadits-hadits yang meriwayatkannya, dilihat dari peristiwa yang paling awal terjadi, surah ini termasuk Makkiyah. Peristiwa yang pertama terjadi yaitu pada periode awal Islam di Mekkah yaitu ketika Bani Quraisy menanyakan leluhur Allah. Kemudian peristiwa berikutnya terjadi di Madinah dimana orang Nasrani atau orang Arab lain menanyakan gambaran Allah dan kemudian turun surah ini. Menurut Madudi, sumber-sumber yang berlainan tersebut menujukkan bahwa surah itu diturunkan berulang-ulang. Jika di suatu tempat ada Nabi Muhammad dan ada yang mengajukan pertanyaan yang sama dengan peristiwa sebelumnya, maka ayat atau surah yang sama akan diwahyukan kembali untuk menjawab pertanyaan tersebut. Selain itu, bukti bahwa surah ini Makkiyah adalah ketika Bilal bin Rabah disiksa majikannya Umayyah bin Khalaf setelah memeluk Islam. Saat disiksa ia menyeru, "Allahu Ahad, Allahu Ahad!!" (Allah Yang Maha Esa, Allah Yang Maha Esa!!). Peristiwa ini terjadi di Mekkah dalam periode awal Islam sehingga menunjukkan bahwa surah ini pernah diturunkan sebelumnya dan Bilal terinspirasi ayat surah ini.[5]
Pendapat lain yaitu menurut as-Suyuthi. Menurutnya kata "al-Musyrikin" dalam hadits yang bersumber dari Ubay bin Ka'ab tertuju pada Musyrikin dari kaum Ahzab, sehingga mengindikasikan bahwa surah ini Madaniyyah sesuai dengan hadits Ibnu Abbas. Dan dengan begitu menurutnya tidak ada pertentangan antara dua hadits tersebut jika surah ini Madaniyah. Keterangan ini diperkuat juga oleh riwayat Abus Syaikh di dalam Kitab al-Adhamah dari Aban yang bersumber dari Anas yang meriwayatkan bahwa Yahudi Khaibar datang menemui Nabi dan berkata, "Hai Abal Qasim! Allah menjadikan malaikat dari cahaya hijab, Adam dari tanah hitam, Iblis dari api yang menjulang, langit dari asap, dan bumi dari buih air. Cobalah terangkan kepada kami tentang Tuhanmu." Nabi tidak menjawab dan kemudian Jibril membawa wahyu surah ini untuk menjawab permintaan Yahudi Khaibar.[6]
Keutamaan
Dalam kisah-kisah Islam
Dalam beberapa hadits dikatakan bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa pahala membaca sekali surah Al-Ikhlas sama dengan membaca sepertiga Al-Qur'an sehingga membaca 3 kali surah ini sama dengan mengkhatam Al-Qur'an. Kisah terkait hadits itu terekam dalam beberapa kisah. Seperti kisah ketika Nabi bertanya kepada sahabatnya untuk mengkhatam Al-Qur'an dalam semalam. Umar menganggap mustahil hal itu, namun begitu Ali menyanggupinya. Umar kemudian menganggap Ali belum mengerti maksud Nabi karena masih muda. Ali kemudian membaca surah Al-Ikhlas sebanyak 3 kali dan Nabi Muhammad membetulkan itu. Dalam hadits-hadits terkait hal ini, keutamaan surah Al-Ikhlas sangat memiliki peran dalam Al-Qur'an sehingga sekali membacanya sama dengan membaca sepertiga Al-Qur'an.
Riwayat Anas bin Malik juga merekam kisah berkaitan surah Al-Ikhlas yaitu dimana 70.000 malaikat diutus kepada seorang sahabat di Madinah yang meninggal hingga meredupkan cahaya matahari. 70.000 malaikat itu diutus hanya karena ia sering membaca surah ini. Dan karena banyaknya malaikat yang diutus, Anas bin Malik yang saat itu bersama Nabi Muhammad di Tabuk merasakan cahaya matahari redup tidak seperti biasannya dimana kemudian malaikat Jibril datang memberitakan kejadian yang sedang terjadi di Madinah.
Dalam riwayat Ibnu Abbas disebutkan Nabi Muhammad ketika melakukan Isra' ke langit, melihat Arsy di atas 360.000 sendi dimana jarak antar sendi 300.000 tahun perjalanan. Pada tiap sendi terdapat padang Sahara sebanyak 12.000 dan luas tiap satu padang sahara itu adalah dari timur ke barat. Pada setiap padang Sahara itu juga terdapat 80.000 malaikat dimana setiap malaikat membaca surah Al-Ikhlas dan setelah membaca itu mereka berdoa agar pahala mereka diberikan kepada orang yang membaca al-Ikhlas, laki-laki maupun perempuan.
Selain itu Nabi Muhammad juga pernah berkata bahwa Qul Huwallahu Ahad (ayat 1) tertulis pada sayap Jibril, Allahus Shamad (ayat 2) pada sayap Mikail, Lam Yalid Walam Yuulad (ayat 3) pada sayap Izrail, dan Walam Yaqullahu Khufuwan Ahad (ayat 4) pada sayap Israfil. Dan yang membaca al-Ikhlas memperoleh pahala membaca Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur'an. Lalu berkaitan sahabat, Nabi pernah berkata bahwa Qul Huwallahu Ahad (ayat 1) tertulis pada dahi Abu Bakar, Allahus Shamad (ayat 2) pada dahi Umar, Lam Yalid Walam Yuulad (ayat 3) pada dahi Utsman, dan Walam Yaqullahu Khufuwan Ahad (ayat 4) pada dahi Ali.[7]
Sedangkan hadits lain menyebutkan bahwa ketika orang membaca al-Ikhlas ketika sakit hingga ia meninggal, ia tidak membusuk dalam kubur dan akan dibawa malaikat dengan sayapnya melintasi Siratul Mustaqim menuju surga.[8]
Referensi
1. ^ Thabathaba'i, Allamah MH. 1987. Mengungkap Rahasia Al-Qur'an. Bandung: Mizan
2. ^ a b c d e f g h i "Nama-nama lain dari Surah Al-Ikhlas", Hidayah, Februari 2009
3. ^ Musnad Ahmad, Ibnu Abi Harim, Ibnu Jarir, Tirmidhi, Bukhari dalam At-Tarikh,
Ibnu al-Mundhir, Hakim, Baihaqi
4. ^ Ibnu Abi Hatim, Ibnu Adi, Baihaqi dalam Al-Asma was-Sifat
5. ^ The Noble Qur'an. Madudi's Introduction of Al-Ikhlas.
6. ^ Al-Qur'an Digital. Ver.2.1. Surah Al-Ikhlas:1
7. ^ Kitab Hayatun Quluubi
8. ^ Kitab Tadzikaratul Qurthuby
IKHLAS KARENA ALLAH
Hari ini khutbah jum’at memang lumayan singkat, namun isinya juga tidak kalah mantap. Dengan gaya khasnya sang khatib membawa khutbah dalam bahasa Aceh dengan begitu menawan sehingga sarat makna. Khususnya lagi dengan topik Ikhlas, yang mungkin kita sendiri sangat sering luput dari sifat ini.
Khutbah jum’at kali ini memang banyak kisah dan contoh yang khatib ungkapkan, karena seperti saya bilang tadi banyak kita sebagai umat muslim mungkin khususnya di Aceh yang luput akan hal yang sepele tersebut. Adapun contoh yang sangat simpel sang khatib memberikan gambaran seseorang yang ketika pagi hari, sebutlah hari itu hari senin. Dan tentu kita tahu puasa di hari senin adalah sunat.
Nah, orang yang tadi ketika pulang ke rumah saat pagi senin (sebelum shubuh) itu dalam keadaan lapar, namun sayang dirumahnya tidak ada makanan yang bisa disantap dan juga dia malas untuk memasak (teruntuk bagi kaum adam mungkin). Tanpa berpikir panjang, orang tersebut langsung meniatkan puasa senin saja lah dari pada lapar gak ada gunanya. Inilah dia ikhlas kita yang sering terlupakan, kegiatan ada sesuatu mendesak lainnya akibat malas atau apa, mengurungkan niat untuk berpuasa.
Tapi sayang, puasa yang dilakukan orang tersebut hampa adanya. Yang menjadi pokok utama adalah niat, ketika berpikir dari pada lapar tidak karuan berniat puasa karena Allah (Lillahi ta’ala), tapi satu hal yang terbagi karena lapar tadi. Ini contoh pertama yang khatib berikan.
Ada contoh selanjutnya yang mungkin ini hampir setiap waktu kita mengerjakannya, apa lagi kalau bukan shalat (jamaah atau sendiri). Hal yang menarik disini adalah perkara yang juga sangat sepele, ketika kita shalat di lihat oleh orang banyak atau pun ada orang yang kita segani di antara para jamaah.
Tentu anda tahu bila penyakit apa yang ada pada orang tersebut kalau bukan riya yang tidak lepas juga dari sifat ikhlas tadi. Lantas dimana hilangnya keikhlasan kita tadi, yang pasti adalah kembali kepada niat, dan shalat seperti ini pun tidak ada apa-apanya (naudzubillah).
Bayangkan ketika niat pertama kita Lillahi ta’ala kemudian timbul rasa riya kepada orang yang kita segani, lantas shalat kita perpanjang tidak seperti biasanya lagi (tentunya kita sudah bisa membayangkan).
Selain itu pula dengan shalat sendiri dirumah atau berjamaah, ketika berjamaah pakaian kita selalu rapi dan bagus. Namun, masih banyak kaum muslimin juga ketika shalat sendiri hal ini dianggap sesuatu yang remeh. Hanya dengan pakaian seadanya dan paling vital lagi hanya sebatas sarung yang dinaikkan di atas pusat langsung menghadap Allah (walaupun hal ini sah-sah saja).
Tapi, coba bayangkan bila hal itu dilakukan di depan orang banyak/jamaah, tentunya anda bisa bayangkan. Inilah inti keikhlasan kita ketika menghadap Allah dan orang lain, tak terasa betapa kita tidak malu atas sikap ini dan merasa penghambaan kita kepada Allah setiap 5 waktu sekali hanya sebagai ritual sebatas kewajiban (semoga Allah menjauhkan kita dari sifat-sifat seperti ini).
Dan terakhir adalah sebagai penghujung khutbah sang khatib sedikit membawa cerita lama (hadist) dalam kesempatan sifat ikhlas ini, yakni tentang pengaruhnya syetan terhadap seorang yang taat. Jadi begini ceritanya (banyak versi hadist ini diceritakan) dalam bahasa khasnya sang khatib bercerita. Di sebuah daerah hidup seorang lelaki yang taat kepada Allah yang setiap harinya bekerja mencari kayu bakar untuk dijual dan tiap harinya juga bibir lelaki ini tidak luput dari berzikir memuji Allah.
Tiba suatu saat, sebut saja orang taat ini hijrah ke gunung untuk menjauhkan diri dari pengaruh dunia dan ingin lebih mendekatkan diri dengan Sang Khalik-Nya tanpa memikirkan masyarakat yang ditinggalnya. Waktu berjalan dan terus berjalan sehingga banyak pemuka agama/ulama di kampunya dulu telah pergi meninggalkan dunia. Namun, lelaki taat ini tetap saja tidak menghiraukan keadaan masyarakatnya tersebut dan masih tetap menetap diri di daerah pegunungan.
Hingga suatu hari masyarakat kampunya lelaki tadi dibawakan sebuah ajaran baru untuk menyembah pohon. Tanpa berpikir panjang banyak masyarakat pun ikut bersama ajaran itu karena telah berkurangnya ilmu agama akibat tidak adanya ulama-ulama lagi.
Tidak lama setelah itu, lelaki taat ini mendengar berita tersebut, bahwa masyarakatnya telah berbelok keyakinan. Jelas saja, lelaki taat ini marah dan berniatnya untuk menebang/membabat habis pohon sesembahan tersebut agar mereka tidak bisa menyembahnya lagi.
Dengan begitu gagahnya sang lelaki taat tadi membawa sebilah kapak untuk menebangnya pohon, namun ditengah perjalanan sang syetan pun menyamar untuk menggodanya dengan berubah wujud menjadi manusia. Tanpa berfikir panjang, sang syetan menyapa hai lelaki yang taat? kemana engkau ingin pergi dengan tergesa-gesa seperti itu. Lelaki tadi menjawab, “aku ingin menebang pohon sesembahan tersebut karena telah menyesatkan umatku”.
Dan syetan pun tidak kalahnya menggoda, apa urusan mu dengan pohon itu. Bukannya kamu taat kepada Allah dan selalu dekat dengan-Nya, kenapa harus ingin menebang pohon itu. Sang lelaki pun menjawab, “ketaatanku dengan Allah adalah menyuruhku untuk menebang pohon itu”. Syetan ternyata naik marah, “kalau begitu katamu, langkahi dulu mayatku”, kata syetan. Apa yang terjadi, ternyata pergulatan yang tidak sehat pun terjadi, dan lelaki taat tadi dapat mengalahkan syetan dengan mencekiknya di leher sehingga syetan kalah KO.
Dan disinilah hal yang sangat menarik, walau pohon yang tadi masih tetap utuh, sang syetan ternyata disela-sela masa sekaratnya meminta grasi kepada lelaki taat tadi agar melepaskannya. Sangatlah wajar bila orang taat ini memaafkan syetan tersebut. Tidak lama kemudian syetan yang menyerupai manusia ini pun memberi permohonan yang luar biasa kepada lelaki taat tadi.
Hai lelaki yang taat, aku ingin memberimu dirham tanpa kamu harus bekerja lagi mencari kayu bakar sehingga kamu bisa beribadah lebih banyak lagi kepada Allah, dan nanti dirham itu akan aku tempatkan dibawah sajadah mu setiap kamu selesai shalat ambillah dirham itu untuk kamu gunakan semaumu. Tanpa berkutik lagi, sang lelaki taat itu mengiyakan hal tersebut. Janji syetan ini pun ditepatinya kepada lelaki taat tadi, setiap selesai shalat selalu ada dirham di bawah sajadah lelaki taat itu. Namun, tibalah suatu saat dirham tersebut tidak ada di bawah sajadah lelaki taat tadi.
Apa yang terjadi, lelaki itu bangun dan membawa kapak kembali ingin menebang pohon sesembahan tadi. Diperjalanan ternyata syetan menyapa kembali, hai kemana engkau lelaki tua dengan kapakmu itu?, lelaki taat tadi tanda basa basi langsung menjawab, “aku ingin menebang pohon sesembahan umatku itu”. Tak dapat dipungkiri ternyata pergulatan yang tidak sehat episode 2 bergulir lagi. Anda tahu, kali ini syetan lah yang berhasil menyekik lelaki taat itu. Dan nasib KO pun bagi sang lelaki taat tadi.
Disinilah inti pernyataan ikhlas tadi yakni ketika syetan memberikan kata-kata terakhir kepada lelaki tadi, hai lelaki taat “tahukah kamu kenapa dulu aku kalah dari mu, karena engkau pertama kali ingin menebang pohon itu karena Allah dan tiba hari ini engkau kalah kalah karena niatmu jelas bukan lagi karena Allah melainkan dirham yang aku janjikan dulu”. Wallahu’alam apa terjadi dengan lelaki taat itu.
Inilah sedikit uraian khutbah singkat Jum’at kali ini (18/1) semoga kita menjadi orang-orang yang benar-benar ikhlas bukan karena sesuatu dan nafsu atas dunia ini melainkan sesuatu hal yang berdasarkan ikhlas/nawaitu karena Allah SWT (Lillahi ta’ala).
IKHLAS ITU BERAT
Menerima sesuatu tentu lebih mudah dibandingkan memberi. Seperti itu pula sebuah pepatah mengatakan “tangan diatas lebih baik dari pada tangan dibawah”. Berada di posisi “diatas” berkonotasi kepada yang lebih mulia. Maka mulialah orang-orang yang senantiasa membiasakan diri untuk memberi. Memberi sesuatu kepada orang lain adalah sesuatu yang berat. Sementara dalam keseharian kita senantiasa dituntut untuk memberi. Baik dari sudut tuntunan agama, maupun pertimbangan tuntutan hidup sosial.
Memberi sesuatu kepada orang lain bisa berupa apa saja. Harta benda, jasa, atau sekedar senyum tulus, dsb. Suatu agama atau keyakinan senantiasa menganjurkan penganutnya untuk memberi sebagai salah satu bentuk ibadah atau darma dan pengabdian. Memberi sesuatu kepada orang lain juga merupakan salah satu cara membangun jaringan hablun minal annas dan menciptakan silaturrahim. Memberi menjadi suatu penyeimbang dalam kehidupan sosial secara moril maupun materiil.
Bersedekah, berinfaq, berzakat, memberi hadiah dan bantuan jasa adalah varietas wujud dari memberi. Sukarela, tulus, ridho, ikhlas adalah sesuatu yang harus melandasi “memberi” agar dia bernilai, baik secara sosial maupun spritual. Sehingga sebahagian orang menganggap percuma suatu pemberian jika tidak dilandasi dengan hati ikhlas.
Sebenarnya bagaimanakah ikhlas itu? Jika melihat pengemis di pinggir jalan, lalu memberinya sejumlah uang atau apa saja yang ada pada kita atas dasar rasa iba dan kasihan misalnya. Itu masih sangat manusiawi. Dan belum tentu masuk kategori ikhlas. Memang terkadang kita mengenal ‘ikhlas’ atau kerelaan hati sebagai wujud cerminan dari rasa iba atau kasihan. Pernahkah kita memberi sesuatu kepada seseorang tanpa harus tahu kita kasihan atau tidak? May be yes..,may be not!
Seorang ahli hikmah mengatakan bahwa memberi sesuatu lantaran adanya sebab, seperti kasihan, prihatin, iba dsb, itu belum bisa dikategorikan sebagai ikhlas. Namun tidak lebih sebagai suatu bentuk kerelaan atau ketulusan hati saja yang bisa menjadi sebagai pemuasan hawa nafsu ego kasihan atau ego iba kita. Namun memberi atas dasar rasa kasihan atau iba pun itu sudah cukup baik. Terlebih lagi jika kita bisa berlaku ikhlas.
Berlaku ikhlas memang berat. Jika dalam memberi sesuatu masih mudah, ringan dan enteng berarti kita belum masuk dalam kategori ikhlas tapi baru sekedar rela atau tulus. Dalam memberi sesuatu kepada orang lain terkadang muncul rasa berat dalam hati kita karena berbagai faktor dan alasan. Alasan itu bisa disebabkan kurangnya biaya hidup, Tanggal tua, Lagi membutuhkan. Namun tetap saja mencoba menyisihkan untuk memberi meskipun sedikit karena dilandasi semata-mata atas nama Tuhan. Dan rasa berat itu kita ikhlas-kan meskipun masih terkesan disabar-sabarkan. Inilah yang lebih dimaksudkan sebagai ikhlas. Sekali lagi karena dia berat.
Ada perbedaan antara ikhlas dan tulus. Ikhlas itu, merelakan sesuatu yang terasa berat. Tulus itu adalah kerelaan hati karena faktor adanya rasa senang atau tidak ada beban. Ikhlas memiliki kedudukan atau derajat yang tinggi di mata Tuhan. Sehingga salah-lah orang yang mengatakan: percuma saja melakukan ini-itu jika tidak ikhlas. Persepsi orang selama ini terbalik, jika orang terlihat berat membantu atau memberi sesuatu disebut ‘tidak ikhlas’ dan begitu pula sebaliknya. Berbuat ikhlas meskipun berat, seorang mukhlis senantiasa dilandasi dengan nama Sang Maha Pencipta.
Ikhlas merupakan solusi positif menghadapi kondisi bangsa yang carut marut oleh berbagai bencana, yang diakibatkan oleh campur tangan manusia sendiri ini. Melalui bencana ini pun kita masih digebleng oleh Tuhan untuk menjadi orang yang ikhlas dalam menerima segalanya. Termasuk di dalamnya ikhlas memberi bantuan kepada korban banjir misalnya. Bencana pada bangsa ini telah membuka lebar bagi penduduknya untuk berlaku ikhlas. Semoga kita termasuk orang-orang yang ikhlas.
Minggu, 11 April 2010
Membaca Tanpa Memahami Makna
Membaca Tanpa Memahami Makna
Mengapa kita tetap membaca Al-Quran meskipun terkadang kita tidak mengerti artinya dengan benar? Jawaban atas pertanyaan ini dapat dipelajari dari kisah berikut.
Seorang Muslim tua Amerika bertahan hidup di suatu perkebunan di suatu pegunungan sebelah timur Negara bagian Kentucky dengan cucu lelakinya yg masih muda. Setiap pagi Kakek bangun lebih awal dan membaca Al-Quran di meja makan didapurnya. Cucu lelakinya ingin sekali menjadi seperti kakeknya dan mencoba untuk menirunya dalam cara apapun semampunya.
Suatu hari sang cucu nya bertanya, “Kakek! Aku mencoba untuk membaca Al Qur’an seperti yang kamu lakukan tetapi aku tidak memahaminya, dan apa yang aku pahami aku lupakan secepat aku menutup buku. Apa sih kebaikan dari membaca Al Qur’an?”
Dengan tenang sang Kakek dengan meletakkan batubara di tungku pemanas sambil berkata, “Bawa keranjang batubara ini ke sungai dan bawa kemari lagi penuhi dengan air.”
Maka sang cucu melakukan seperti yang diperintahkan kakek, tetapi semua air habis menetes sebelum tiba di depan rumahnya.
Kakek tertawa dan berkata, “Lain kali kamu harus melakukukannya lebih cepat lagi,” maka ia menyuruh cucunya kembali ke sungai dengan keranjang tsb untuk dicoba lagi.
Sang cucu berlari lebih cepat, tetapi tetap, lagi-lagi keranjangnya kosong sebelum ia tiba di depan rumah. Dengan terengah-engah, ia berkata kepada kakek nya bahwa mustahil membawa air dari sungai dengan keranjang yang sudah bolong, maka sang cucu mengambil ember sebagai gantinya.
Sang kakek berkata, ” Aku tidak mau satu ember air, aku hanya mau satu keranjang air. Ayolah, usaha kamu kurang cukup,” maka sang kakek pergi ke luar pintu untuk mengamati usaha cucu laki-lakinya itu.
Cucu nya yakin sekali bahwa hal itu mustahil, tetapi ia tetap ingin menunjukkan kepada kakeknya, biar sekalipun ia berlari secepat-cepatnya, air tetap akan bocor keluar sebelum ia sampai ke rumah.
Sekali lagi sang cucu mengambil air ke dalam sungai dan berlari sekuat tenaga menghampiri kakek, tetapi ketika ia sampai didepan kakek keranjang sudah kosong lagi.
Sambil terengah-engah ia berkata, ” Lihat Kek, percuma!”
Kakek berkata, “Jadi kamu pikir percuma? Lihatlah keranjangnya.”
Sang cucu menurut, melihat ke dalam keranjangnya dan untuk pertama kalinya menyadari bahwa keranjang itu sekarang berbeda.. Keranjang itu telah berubah dari keranjang batubara yang tua kotor dan kini menjadi bersih, luar dalam.
“Cucuku, hal itulah yang terjadi ketika kamu membaca Al Qur’an. Kamu tidak bisa memahami atau ingat segalanya, tetapi ketika kamu membaca nya lagi, kamu akan berubah, didalam dan diluar dirimu …”
Clipping oleh: Lambang (http://islamabangan.wordpress.com)
Kamis, 18 Maret 2010
Laksanakan Dengan Ikhlas Dan Berserah Diri Kepada Allah SWT
Laksanakan Dengan Ikhlas Dan Berserah Diri Kepada Allah SWT
Dalam melaksanakan ibadah haji jangan panik,jangan menganggapnya sulit, laksanakan saja dengan penuh keikhlasan dan berserah diri kepada Allah SWT, Insya Allah akan dibimbing-Nya dalam melaksanakan tahap demi tahap prosesi haji tersebut.
Wakil Bupati Deli Serdang H Zainuddin Mars, tekankan hal itu kepada jemaah calon haji Deli Serdang, pada penutupan manasik haji akbar dan penepung tawaran calon haji yang digagas Departemen Agama Kab. Deli Serdang,Sabtu (24/l0) pagi di aula kantor Depag tersebut di Lubuk Pakam,dihadiri Kapolres Deli Serdang AKBP MashudiSIK SH,Wakil Pimpinan DPRD Deli Serdang Drs Syarifuddin Rosa,Wakil Ketua TP PKK Deli Serdang Hj Asdiana Zainuddin Mars, Plt Kadis Infokom Deli Serdang Maiber Sitompul SE dan undangan lainnya.
Jamaah calon haji dari Deli Serdang,ungkap Wabup,selama perjalanan melaksanakan ibadah haji tersebut,menjadi bagian dari tanggungjawab Pemerintah Kabupaten Deli Serdang, maka itu dipinta kepada segenap jamaah calon haji, agar membawa nama baik DeliSerdang, tingkatkan kebersamaan, tolong menolong dalam bingkai kasihsayang sebagai keluarga besar Deli Serdang, dengan demikian akan diberikan Allah kemudahan demi kemudahan.
Kepada Kepala Rombongan (Karom) dan khusus kepada TPHD dan tim kesehatan, Wakil Bupati mengingatkan, agar bekerja secara profesional sesuai dengan Tupoksinya, sehingga tidak satupun nantinya jemaah calon haji dari Deli Serdang yang terlantar, sakit tidak terurus dan terpenting jangan sampai ada yang tidak melaksanakan prosesi haji tersebut sesuai dengan prosudur yang digariskan.
Meskipun umumnya jamaah calon haji dari Deli Serdang tergabung di dalam KBIH, namun setelah sampai di tanah suci, pinta wakil Bupati jangan memunculkan ego kelompok, calon haji yang tidak bergabung di dalam KBIH ajak bergabung bersama dalam melaksanakan prosesi haji
tersebut, sehingga tidak ada calon haji Deli Serdang yang tercecer dan merasa sendiri di sana dan terpenting untuk dicamkan, komando pimpinan berada di tangan pimpinan Kloter,maka itu, Karom, TPHD, tim kesehatan dan KBIH harus selalu berkoordinasi kepada Ketua Kloter.
Selepas memberikan bimbingannya, H. Zainuddin Mars beserta Kapolres DS,Wakil Pimpinan DPRD Deli Serdang dan Wakil Ketua TP PKK Deli Serdang menepung tawari parajemaah calon haji. Pada kesempatan ini Wabup memberikan bingkisan kepada jemaah calon haji yang diwakili calon haji tertua dan termuda.
Kakandepag DS, Drs H M AdlinDamanik sebelumnya melaporkan, pelatihan manasik haji akbar calon jamaah haji Deli Serdang 2009 itu berlangsung dari 22 s/d 24 Oktober2009 dan dilanjutkan dengan penepung tawaran para jemaah haji, yang berjumlah 320 orang, yang akan dilepas Bupati Deli Serdang Drs H Amri Tambunan pada 5 Nopember 2009 di Masjid Al Ikhlas Pancasila Lubuk Pakam memasuki karantina di Asrama Haji Medan dan selanjutnya bertolak ke tanah suci pada 6 Nopember 2009.
Inginkah Anda Menjadi Orang yang Ikhlas?
Inginkah Anda Menjadi Orang yang Ikhlas?
Seorang ulama yang bernama Sufyan Ats Tsauri pernah berkata, “Sesuatu yang paling sulit bagiku untuk aku luruskan adalah niatku, karena begitu seringnya ia berubah-ubah.” Niat yang baik atau keikhlasan merupakan sebuah perkara yang sulit untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan sering berbolak-baliknya hati kita. Terkadang ia ikhlas, di lain waktu tidak. Padahal, sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, ikhlas merupakan suatu hal yang harus ada dalam setiap amal kebaikan kita. Amal kebaikan yang tidak terdapat keikhlasan di dalamnya hanya akan menghasilkan kesia-siaan belaka. Bahkan bukan hanya itu, ingatkah kita akan sebuah hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa tiga orang yang akan masuk neraka terlebih dahulu adalah orang-orang yang beramal kebaikan namun bukan karena Allah?. Ya, sebuah amal yang tidak dilakukan ikhlas karena Allah bukan hanya tidak dibalas apa-apa, bahkan Allah akan mengazab orang tersebut, karena sesungguhnya amalan yang dilakukan bukan karena Allah termasuk perbuatan kesyirikan yang tak terampuni dosanya kecuali jika ia bertaubat darinya, Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa : 48)
Ibnu Rajab dalam kitabnya Jami’ul Ulum Wal Hikam menyatakan, “Amalan riya yang murni jarang timbul pada amal-amal wajib seorang mukmin seperti shalat dan puasa, namun terkadang riya muncul pada zakat, haji dan amal-amal lainnya yang tampak di mata manusia atau pada amalan yang memberikan manfaat bagi orang lain (semisal berdakwah, membantu orang lain dan lain sebagainya). Keikhlasan dalam amalan-amalan semacam ini sangatlah berat, amal yang tidak ikhlas akan sia-sia, dan pelakunya berhak untuk mendapatkan kemurkaan dan hukuman dari Allah.”
Bagaimana Agar Aku Ikhlas ?
Setan akan senantiasa menggoda dan merusak amal-amal kebaikan yang dilakukan oleh seorang hamba. Seorang hamba akan terus berusaha untuk melawan iblis dan bala tentaranya hingga ia bertemu dengan Tuhannya kelak dalam keadaan iman dan mengikhlaskan seluruh amal perbuatannya. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui hal-hal apa sajakah yang dapat membantu kita agar dapat mengikhlaskan seluruh amal perbuatan kita kepada Allah semata, dan di antara hal-hal tersebut adalah
Banyak Berdoa
Di antara yang dapat menolong seorang hamba untuk ikhlas adalah dengan banyak berdoa kepada Allah. Lihatlah Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, di antara doa yang sering beliau panjatkan adalah doa:
« اَللّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ أَعْلَمُ »
“Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu sementara aku mengetahuinya, dan akupun memohon ampun terhadap perbuatan syirik yang tidak aku ketahui.” (Hadits Shahih riwayat Ahmad)
Nabi kita sering memanjatkan doa agar terhindar dari kesyirikan padahal beliau adalah orang yang paling jauh dari kesyirikan. Inilah dia, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat besar dan utama, sahabat terbaik setelah Abu Bakar, di antara doa yang sering beliau panjatkan adalah, “Ya Allah, jadikanlah seluruh amalanku amal yang saleh, jadikanlah seluruh amalanku hanya karena ikhlas mengharap wajahmu, dan jangan jadikan sedikitpun dari amalanku tersebut karena orang lain.”
Menyembunyikan Amal Kebaikan
Hal lain yang dapat mendorong seseorang agar lebih ikhlas adalah dengan menyembunyikan amal kebaikannya. Yakni dia menyembunyikan amal-amal kebaikan yang disyariatkan dan lebih utama untuk disembunyikan (seperti shalat sunnah, puasa sunnah, dan lain-lain). Amal kebaikan yang dilakukan tanpa diketahui orang lain lebih diharapkan amal tersebut ikhlas, karena tidak ada yang mendorongnya untuk melakukan hal tersebut kecuali hanya karena Allah semata. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits, “Tujuh golongan yang akan Allah naungi pada hari di mana tidak ada naungan selain dari naungan-Nya yaitu pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh di atas ketaatan kepada Allah, laki-laki yang hatinya senantiasa terikat dengan mesjid, dua orang yang mencintai karena Allah, bertemu dan berpisah karena-Nya, seorang lelaki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang cantik dan memiliki kedudukan, namun ia berkata: sesungguhnya aku takut kepada Allah, seseorang yang bersedekah dan menyembunyikan sedekahnya tersebut hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya dan seseorang yang mengingat Allah di waktu sendiri hingga meneteslah air matanya.” (HR Bukhari Muslim).
Apabila kita perhatikan hadits tersebut, kita dapatkan bahwa di antara sifat orang-orang yang akan Allah naungi kelak di hari kiamat adalah orang-orang yang melakukan kebaikan tanpa diketahui oleh orang lain. Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda “Sesungguhnya sebaik-baik shalat yang dilakukan oleh seseorang adalah shalat yang dilakukan di rumahnya kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari Muslim)
Rasulullah menyatakan bahwa sebaik-baik shalat adalah shalat yang dilakukan di rumah kecuali shalat wajib, karena hal ini lebih melatih dan mendorong seseorang untuk ikhlas. Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dalam Syarah Riyadush Sholihin menyatakan, “di antara sebabnya adalah karena shalat (sunnah) yang dilakukan di rumah lebih jauh dari riya, karena sesungguhnya seseorang yang shalat (sunnah) di mesjid dilihat oleh manusia, dan terkadang di hatinya pun timbul riya, sedangkan orang yang shalat (sunnah) di rumahnya maka hal ini lebih dekat dengan keikhlasan.” Basyr bin Al Harits berkata, “Janganlah engkau beramal agar engkau disebut-sebut, sembunyikanlah kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan keburukanmu.”
Seseorang yang dia betul-betul jujur dalam keikhlasannya, ia mencintai untuk menyembunyikan kebaikannya sebagaimana ia menyembunyikan kejelekannya. Maka dari itu wahai saudaraku, marilah kita berusaha untuk membiasakan diri menyembunyikan kebaikan-kebaikan kita, karena ketahuilah, hal tersebut lebih dekat dengan keikhlasan.
Memandang Rendah Amal Kebaikan
Memandang rendah amal kebaikan yang kita lakukan dapat mendorong kita agar amal perbuatan kita tersebut lebih ikhlas. Di antara bencana yang dialami seorang hamba adalah ketika ia merasa ridha dengan amal kebaikan yang dilakukan, di mana hal ini dapat menyeretnya ke dalam perbuatan ujub (berbangga diri) yang menyebabkan rusaknya keikhlasan. Semakin ujub seseorang terhadap amal kebaikan yang ia lakukan, maka akan semakin kecil dan rusak keikhlasan dari amal tersebut, bahkan pahala amal kebaikan tersebut dapat hilang sia-sia. Sa’id bin Jubair berkata, “Ada orang yang masuk surga karena perbuatan maksiat dan ada orang yang masuk neraka karena amal kebaikannya”. Ditanyakan kepadanya “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”. Beliau menjawab, “seseorang melakukan perbuatan maksiat, ia pun senantiasa takut terhadap adzab Allah akibat perbuatan maksiat tersebut, maka ia pun bertemu Allah dan Allah pun mengampuni dosanya karena rasa takutnya itu, sedangkan ada seseorang yang dia beramal kebaikan, ia pun senantiasa bangga terhadap amalnya tersebut, maka ia pun bertemu Allah dalam keadaan demikian, maka Allah pun memasukkannya ke dalam neraka.”
Takut Akan Tidak Diterimanya Amal
Allah berfirman:
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. Al Mu’minun: 60)
Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa di antara sifat-sifat orang mukmin adalah mereka yang memberikan suatu pemberian, namun mereka takut akan tidak diterimanya amal perbuatan mereka tersebut ( Tafsir Ibnu Katsir ).
Hal semakna juga telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Aisyah ketika beliau bertanya kepada Rasulullah tentang makna ayat di atas. Ummul Mukminin Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah apakah yang dimaksud dengan ayat, “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka” adalah orang yang mencuri, berzina dan meminum khamr kemudian ia takut terhadap Allah?. Maka Rasulullah pun menjawab: Tidak wahai putri Abu Bakar Ash Shiddiq, yang dimaksud dengan ayat itu adalah mereka yang shalat, puasa, bersedekah namun mereka takut tidak diterima oleh Allah.” (HR. Tirmidzi dengan sanad shahih )
Ya saudaraku, di antara hal yang dapat membantu kita untuk ikhlas adalah ketika kita takut akan tidak diterimanya amal kebaikan kita oleh Allah. Karena sesungguhnya keikhlasan itu tidak hanya ada ketika kita sedang mengerjakan amal kebaikan, namun keikhlasan harus ada baik sebelum maupun sesudah kita melakukan amal kebaikan. Apalah artinya apabila kita ikhlas ketika beramal, namun setelah itu kita merasa hebat dan bangga karena kita telah melakukan amal tersebut. Bukankah pahala dari amal kebaikan kita tersebut akan hilang dan sia-sia? Bukankah dengan demikian amal kebaikan kita malah tidak akan diterima oleh Allah? Tidakkah kita takut akan munculnya perasaan bangga setelah kita beramal sholeh yang menyebabkan tidak diterimanya amal kita tersebut? Dan pada kenyataannya hal ini sering terjadi dalam diri kita. Sungguh amat sangat merugikan hal yang demikian itu.
Tidak Terpengaruh Oleh Perkataan Manusia
Pujian dan perkataan orang lain terhadap seseorang merupakan suatu hal yang pada umumnya disenangi oleh manusia. Bahkan Rasulullah pernah menyatakan ketika ditanya tentang seseorang yang beramal kebaikan kemudian ia dipuji oleh manusia karenanya, beliau menjawab, “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin.” (HR. Muslim)
Begitu pula sebaliknya, celaan dari orang lain merupakan suatu hal yang pada umumnya tidak disukai manusia. Namun saudaraku, janganlah engkau jadikan pujian atau celaan orang lain sebagai sebab engkau beramal saleh, karena hal tersebut bukanlah termasuk perbuatan ikhlas. Seorang mukmin yang ikhlas adalah seorang yang tidak terpengaruh oleh pujian maupun celaan manusia ketika ia beramal saleh. Ketika ia mengetahui bahwa dirinya dipuji karena beramal sholeh, maka tidaklah pujian tersebut kecuali hanya akan membuat ia semakin tawadhu (rendah diri) kepada Allah. Ia pun menyadari bahwa pujian tersebut merupakan fitnah (ujian) baginya, sehingga ia pun berdoa kepada Allah untuk menyelamatkannya dari fitnah tersebut. Ketahuilah wahai saudaraku, tidak ada pujian yang dapat bermanfaat bagimu maupun celaan yang dapat membahayakanmu kecuali apabila kesemuanya itu berasal dari Allah. Manakah yang akan kita pilih wahai saudaraku, dipuji manusia namun Allah mencela kita ataukah dicela manusia namun Allah memuji kita ?
Menyadari Bahwa Manusia Bukanlah Pemilik Surga dan Neraka
Sesungguhnya apabila seorang hamba menyadari bahwa orang-orang yang dia jadikan sebagai tujuan amalnya itu (baik karena ingin pujian maupun kedudukan yang tinggi di antara mereka), akan sama-sama dihisab oleh Allah, sama-sama akan berdiri di padang mahsyar dalam keadaan takut dan telanjang, sama-sama akan menunggu keputusan untuk dimasukkan ke dalam surga atau neraka, maka ia pasti tidak akan meniatkan amal perbuatan itu untuk mereka. Karena tidak satu pun dari mereka yang dapat menolong dia untuk masuk surga ataupun menyelamatkan dia dari neraka. Bahkan saudaraku, seandainya seluruh manusia mulai dari Nabi Adam sampai manusia terakhir berdiri di belakangmu, maka mereka tidak akan mampu untuk mendorongmu masuk ke dalam surga meskipun hanya satu langkah. Maka saudaraku, mengapa kita bersusah-payah dan bercapek-capek melakukan amalan hanya untuk mereka?
Ibnu Rajab dalam kitabnya Jamiul Ulum wal Hikam berkata: “Barang siapa yang berpuasa, shalat, berzikir kepada Allah, dan dia maksudkan dengan amalan-amalan tersebut untuk mendapatkan dunia, maka tidak ada kebaikan dalam amalan-amalan tersebut sama sekali, amalan-amalan tersebut tidak bermanfaat baginya, bahkan hanya akan menyebabkan ia berdosa”. Yaitu amalan-amalannya tersebut tidak bermanfaat baginya, lebih-lebih bagi orang lain.
Ingin Dicintai, Namun Dibenci
Saudaraku, sesungguhnya seseorang yang melakukan amalan karena ingin dipuji oleh manusia tidak akan mendapatkan pujian tersebut dari mereka. Bahkan sebaliknya, manusia akan mencelanya, mereka akan membencinya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang memperlihat-lihatkan amalannya maka Allah akan menampakkan amalan-amalannya “ (HR. Muslim)
Akan tetapi, apabila seseorang melakukan amalan ikhlas karena Allah, maka Allah dan para makhluk-Nya akan mencintainya sebagaimana firman Allah ta’ala:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدًّا
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam: 96)
Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa Dia akan menanamkan dalam hati-hati hamba-hamba-Nya yang saleh kecintaan terhadap orang-orang yang melakukan amal-amal saleh (yaitu amalan-amalan yang dilakukan ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan Nabi-Nya ). (Tafsir Ibnu Katsir).
Dalam sebuah hadits dinyatakan “Sesungguhnya apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Dia menyeru Jibril dan berkata: wahai Jibril, sesungguhnya Aku mencintai fulan, maka cintailah ia. Maka Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit: sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah ia. Maka penduduk langit pun mencintainya. Kemudian ditanamkanlah kecintaan padanya di bumi. Dan sesungguhnya apabila Allah membenci seorang hamba, maka Dia menyeru Jibril dan berkata : wahai Jibril, sesungguhnya Aku membenci fulan, maka bencilah ia. Maka Jibril pun membencinya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit: sesungguhnya Allah membenci fulan, maka benciilah ia. Maka penduduk langit pun membencnya. Kemudian ditanamkanlah kebencian padanya di bumi.” (HR. Bukhari Muslim)
Hasan Al Bashri berkata: “Ada seorang laki-laki yang berkata : ‘Demi Allah aku akan beribadah agar aku disebut-sebut karenanya’. Maka tidaklah ia dilihat kecuali ia sedang shalat, dia adalah orang yang paling pertama masuk mesjid dan yang paling terakhir keluar darinya. Ia pun melakukan hal tersebut sampai tujuh bulan lamanya. Namun, tidaklah ia melewati sekelompok orang kecuali mereka berkata: ‘lihatlah orang yang riya ini’. Dia pun menyadari hal ini dan berkata: tidaklah aku disebut-sebut kecuali hanya dengan kejelekan, ’sungguh aku akan melakukan amalan hanya karena Allah’. Dia pun tidak menambah amalan kecuali amalan yang dulu ia kerjakan. Setelah itu, apabila ia melewati sekelompok orang mereka berkata: ’semoga Allah merahmatinya sekarang’. Kemudian Hasan al bashri pun membaca ayat: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Demikianlah pembahasan kali ini, semoga bermanfaat bagi diri penulis dan kaum muslimin pada umumnya. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang ikhlas.
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ
(Segala puji bagi Allah yang dengan nikmatnya sehingga sempurnalah segala amal kebaikan)
***
Disusun oleh: Abu ‘Uzair Boris Tanesia
Muroja’ah: Ustadz Ahmad Daniel Lc.
Artikel www.muslim.or.id
Langganan:
Postingan (Atom)