Sabtu, 14 November 2009
Imam Al Ghazali
Abu Hamid Muhammad ibnu Muhammad ibnu Ahmad, dilahirkan pada tahun 450 H/1059 di Thus daerah Khurasan. la dikenal dengan al-Ghazali karena ayahnya pekerja pemintal tenun wol atau karena ia berasal dari desa Ghazalah. Keluarganya tergolong keluarga yang kuat beragama dan termasuk keluarga sufi. la mulai memasuki pendidikan di daerahnya yaitu belajar kepada Ahmad ibnu Muhammad al-Razkani ¬al-Thusi.
Disamping belajar tersebut ia mulai mengajar dan menulis dalam Ilmu Fiqh Setelah imam al-Juwaini wafat dan pelajaran tasa¬wuf sudah cukup dikuasainya, kecemerlang¬an dan keharuman namanya dan kesenangan duniawi melimpah ruah. Namun keadaan itu bukan semakin menambah kebahagiaan¬ malah membawanya sakit sampai ia secara tiba¬-tiba meninggalkan Baghdad mengundurkan diri dari kecemerlangan duniawi itu. ia berangkat menuju Damaskus di Syria dan tinggal dikota ini mulai tahun 488 H/1095 suatu kota yang penuh damai dan banyak dihuni kalangan sufi. Di masjid Umawi ia ber'itiqaf dan berzikir di puncak menara sebelah barat sepanjang hari dengan makan minum yang terbatas. la memasuki suluk sufi dengan riyadhah dan mujahadah terus-menerus seperti itu selama dua tahun di Damaskus.
Setelah itu, ia meninggalkan Damaskus berangkat menuju Baitul Maqdis di Palestina. Di sini, setiap hari ia masuk Qubbah Shahrah mengunci pintunya unlah dan berzikir. ia juga berangkat ke kota al-Khalil untuk berziarah ke makam Nabi Ibrahim as. Setelah dirasa cukup berada di Palestina, ia berangkat menuju Hijaz untuk melaksanakan ibadah haji di Mekkah dan ber¬ziarah Ke makam Rasulullah di Madinah.menurut beberapa penulis, setelah ia melaksana¬n ibadah haji, ia berangkat menuju Mesir dan ting¬gal iskandariah beberapa lama. Setelah beberapa kali adanya permintaan, maka ia akhirnya mengabul¬kan untuk kembali mengajar di Perguruan Nidzami¬yah Baghdad. Ternyata ia tinggal di Baghdad dengan tugas memberikan kuliah tersebut tidak lama dilaksa¬nakannya, dan ia kembali ke Thus. Di Thus ia mendirikan khanaqah untuk para sufi dan mendirikan madrasah untuk mengajar Ilmu Tasa¬wuf. Di daerah kelahirannya ini Imam al-Ghazali yang bergelar dengan hujjatul Islam meninggal dunia de¬ngan tenang pada hari Senin 14 jumadil Akhir 505 H. AI-Ghazali meninggalkan karya-karya tulis yang amat banyak meliputi berbagai bidang keislaman Kalam, Fiqh, Filsafat, Tasawuf, dan lain-lain, dalam ¬bentuk buku maupun risalah.
Tasawuf al-Ghazali menghimpun akidah, syariat, dan akhlak dalam satu sistematika yang kuat dan amat berbobot. Berbobotnya tasawuf al-Ghazali itu karena teori-teori tasawufnya itu lahir dari kajian dan peng¬alaman pribadi setelah melaksanakan sulukk dalam riyadhah dan mujahadah yang intensif dan berkesi¬nambungan.
Dalam pandangan al-Ghazali, Ilmu Tasawuf mengandung dua bagian penting, pertama mengandung bahasan hal-hal yang menyangkut ilmu mu'amalah dan bagian kedua mengandung bahasan hal-hal yang menyangkut ilmu mukasyafah. Ilmu Tasawuf yang mengandung dua bagian ilmu ini secara jelas diurai¬kan dalam karyanya Ihya 'Ulumiddin. Ia mengemukakan maqamat dan ahwal yang perlu ditempuh oleh salik itu adalah tobat, sabar, syukur, khauf, zuhud, tawakkal, mahabbah, unsu, 'isyq, ridha.Menurut al-Ghazali, antara maqam dan hal tidak begitu berbeda dan hanya dikenali dengan perasaan batin masing-masing. Dalam uraian-uraian al¬-ghazali, kita mengetahui bahwa setiap maqam dan hal selalu mengandung tiga unsur penting yaitu menyangkut ilmu, rasa dan amal dari masing-masing. Menurut al-Ghazali perjalanan tasawuf itu pada hakikatnya adalah pembersihan diri dan pembening¬an hati terus-menerus hingga mampu mencapai mu¬syadah. Oleh karena itulah, maka al-Ghazali mene¬kankan betapa pentingnya pelatihan jiwa, penempaan moral atau akhlak yang terpuji baik di sisi manusia maupun di sisi Tuhan. Keistimewaan al-Ghazali yang lain adalah uraian¬nya yang berhubungan dengan makrifat sebagai jalan mnengenal Allah yang jelas ciri-ciri dan batas-batasnya. Sarana makrifat menurut al-Ghazali, bukan akal, indera atau rasa, tetapi hati (al-qalbu). Hati (al-qalbu) bukan dalam arti segumpal daging dalam dada sebe¬lah kiri itu sebagaimana biasanya disebutkan, namun adalah percikan rohaniah ketuhanan (latifah rabbaniy¬ah) yang merupakan kebenaran hakiki manusia. Menurut al-Ghazali, hati (al-qalbu) ibarat cermin yang mampu menangkap makrifat ketuhanan. Ke¬mampuan hati (al-qalbu) tersebut tergantung pada bersih dan beningnya hati (al-qalbu) itu sendiri. Apa bila ia dalam keadaan kotor atau penuh debu dosa maka ia tidak akan bisa menangkap makrifat itu. Metode penyampaian yang digunakan adalah meto¬de kasyf.
Dengan kasyf yaitu terbukanya dinding yang memisahkan antara hati (al-qalbu) dengan Tuhan karena begitu bersih dan beningnya hati (al-qalbu) tersebut, maka terjadi musyahadah yang hakiki. Seorang sufi yang sudah berada dalam maqam demikian, ia tidak memandang selain Allah dan tidak, tahu selain Dia. Yang disaksikannya dalam ujud ini hanyalah Dia dan ciptaan-ciptaan-Nya. Dalam keada¬an demikian, seorang sufi mengesakan Allah dengar sebenarnya dan ia tidak melihat kecuali Dia. Demikian sufi sudah mulai memasuki keadaan fana dalam tauhid.
Membicarakan masalah fana, maka menurut Al-Ghazali, pembicaraan itu sudah memasuki ilmu mukasyafah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar