Jumat, 20 November 2009
MENIKAH
Saudaraku, berbicara masalah nikah, seringkali harus bersentuhan dengan "penyesalan" . Ada orang yang menyesal mengapa tidak menikah sejak dulu, setelah ia merasakan manfaatnya. Namun ada juga yang menyesal mengapa menikah, setelah merasakan pahit getirnya hidup berumahtangga. Sebagai orang beriman, kita harus yakin bahwa menikah adalah ibadah. Ada banyak kebaikan di dalamnya. Kalau pun ada masalah, maka yakinlah bahwa itulah ladang amal dan sarana pendewasaan yang dianugerahkan Allah.
Pertanyaannya, bagaimana agar pernikahan mendatangkan ridha Allah. Semakin lama usia pernikahan akan semakin terasa sakinah mawaddah wa rahmah? Ada tiga rumus dalam QS Al-Ashr. Setiap bertambah hari, bertambah umur, kita itu merugi kecuali tiga golongan kelompok yang beruntung.
Pertama adalah rumahtangga yang selalu berpikir keras bagaimana keyakinan kepada Allah terus meningkat. Semua kebahagiaan dan kemuliaan itu berbanding lurus dengan tingkat keyakinan kepada Allah. Tidak ada orang ikhlas kecuali yakin kepada Allah. Tidak ada sabar kecuali kenal kepada Allah. Tidak ada orang zuhud kecuali orang yang tahu kekayaan Allah. Tidak ada orang tawadhu kecuali orang yang tahu kehebatan Allah. Makin akrab dan kenal dengan Allah semua dipandang kecil. Setiap hari dalam hidup kita seharusnya dipikirkan bagaimana kita dekat dengan Allah. Kalau Allah sudah mencintai mahluk segala urusan akan beres.
Karena itu, apa pun yang ada dirumah harus menjadi jalan mendekat kepada Allah. Beli barang apa pun harus barang yang disukai Allah. Supaya rumah kita menjadi rumah yang disukai Allah. Boleh punya barang yang bagus tanpa diwarnai dengan takabur. Bukan perkara mahal atau murah, bagus atau tidak tetapi apakah bisa dipertanggungjawabk an disisi Allah atau tidak. Bahkan dalam mendengar lagu yang disukai Allah siapa tahu kita dipanggil Allah ketika mendengar lagu. Rumah kita harus Allah oriented. Kaligrafi dengan tulisan Allah. Kita senang melihat rumah mewah dan islami. Jadikan semua harta jadi dakwah mulai mobil sampai rumah.
Apa yang kita pikirkan Allah sudah mengetahui apa yang kita pikirkan. Yang harus kita pikirkan adalah bagaimana dekat dengan Allah, selanjutnya Allah yang akan mengurus. Kalau hubungan kita dengan Allah bagus semua akan beres. Barangsiapa yang dekat dengan Allah, akan diberi jalan keluar setiap urusannya. Dan dijamin dengan rezeki dari tempat yang tidak diduga-duga. Dan barang siapa hatinya yakin Allah yang punya segalanya, akan dicukupkan segala kebutuhannya. Jadi bukan dunia ini yang menjadi masalah tetapi hubungan kita dengan Allah-lah masalahnya.
Kedua adalah rumahtangga yang paling produktif dalam kebaikan. Uang paling berkah adalah uang yang paling tinggi produktifitasnya. Kaya boleh asal produktif. Boleh mempunyai rumah banyak asal diniatkan agar berkah demi Allah itu akan beruntung. Karena itu, teruslah mencari uang. Bukan untuk memperkaya diri untuk mendistribusikannya untuk umat. Sedekah itu tidak akan mengurangi harta kita kecuali bertambah. Jadi pikiran kita bukan akan mendapat apa kita? Tapi apa yang bisa kita perbuat? Orang beruntung setiap waktu pikirannya produktif mengenai kebaikan. Selagi hidup lakukan yang terbaik, sesudah mati kita tidak akan bisa. Kalau sudah berbuat nanti Allah yang akan memberi, itulah namanya rezeki. Orang yang beruntung adalah orang yang paling produktif kebaikannya.
Ketiga adalah rumahtangga yang dihiasi saling nasihat menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Kata-kata terbaik yang kita katakan adalah meminta saran dan nasihat. Ayah meminta nasihat anak atau istri, niscaya tidak akan kehilangan wibawa. Dan kita tidak bisa menjadi penasihat yang baik sebelum ia menjadi orang yang bisa dinasihati. Tidak akan bisa kita memberi nasihat jika kita tidak bisa menerima nasihat. Nikmatilah nasihat sebagai rezeki dan bukti kesuksesan hidup. Sayang hidup hanya sekali dan sebentar hanya untuk menipu diri. Wallaahu a'lam.
Sabtu, 14 November 2009
Inginkah Anda Menjadi Orang yang Ikhlas?
Seorang ulama yang bernama Sufyan Ats Tsauri pernah berkata, “Sesuatu yang paling sulit bagiku untuk aku luruskan adalah niatku, karena begitu seringnya ia berubah-ubah.” Niat yang baik atau keikhlasan merupakan sebuah perkara yang sulit untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan sering berbolak-baliknya hati kita. Terkadang ia ikhlas, di lain waktu tidak. Padahal, sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, ikhlas merupakan suatu hal yang harus ada dalam setiap amal kebaikan kita. Amal kebaikan yang tidak terdapat keikhlasan di dalamnya hanya akan menghasilkan kesia-siaan belaka. Bahkan bukan hanya itu, ingatkah kita akan sebuah hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa tiga orang yang akan masuk neraka terlebih dahulu adalah orang-orang yang beramal kebaikan namun bukan karena Allah?. Ya, sebuah amal yang tidak dilakukan ikhlas karena Allah bukan hanya tidak dibalas apa-apa, bahkan Allah akan mengazab orang tersebut, karena sesungguhnya amalan yang dilakukan bukan karena Allah termasuk perbuatan kesyirikan yang tak terampuni dosanya kecuali jika ia bertaubat darinya, Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa : 48)
Ibnu Rajab dalam kitabnya Jami’ul Ulum Wal Hikam menyatakan, “Amalan riya yang murni jarang timbul pada amal-amal wajib seorang mukmin seperti shalat dan puasa, namun terkadang riya muncul pada zakat, haji dan amal-amal lainnya yang tampak di mata manusia atau pada amalan yang memberikan manfaat bagi orang lain (semisal berdakwah, membantu orang lain dan lain sebagainya). Keikhlasan dalam amalan-amalan semacam ini sangatlah berat, amal yang tidak ikhlas akan sia-sia, dan pelakunya berhak untuk mendapatkan kemurkaan dan hukuman dari Allah.”
Bagaimana Agar Aku Ikhlas ?
Setan akan senantiasa menggoda dan merusak amal-amal kebaikan yang dilakukan oleh seorang hamba. Seorang hamba akan terus berusaha untuk melawan iblis dan bala tentaranya hingga ia bertemu dengan Tuhannya kelak dalam keadaan iman dan mengikhlaskan seluruh amal perbuatannya. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui hal-hal apa sajakah yang dapat membantu kita agar dapat mengikhlaskan seluruh amal perbuatan kita kepada Allah semata, dan di antara hal-hal tersebut adalah
Banyak Berdoa
Di antara yang dapat menolong seorang hamba untuk ikhlas adalah dengan banyak berdoa kepada Allah. Lihatlah Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, di antara doa yang sering beliau panjatkan adalah doa:
« اَللّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ أَعْلَمُ »
“Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu sementara aku mengetahuinya, dan akupun memohon ampun terhadap perbuatan syirik yang tidak aku ketahui.” (Hadits Shahih riwayat Ahmad)
Nabi kita sering memanjatkan doa agar terhindar dari kesyirikan padahal beliau adalah orang yang paling jauh dari kesyirikan. Inilah dia, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat besar dan utama, sahabat terbaik setelah Abu Bakar, di antara doa yang sering beliau panjatkan adalah, “Ya Allah, jadikanlah seluruh amalanku amal yang saleh, jadikanlah seluruh amalanku hanya karena ikhlas mengharap wajahmu, dan jangan jadikan sedikitpun dari amalanku tersebut karena orang lain.”
Menyembunyikan Amal Kebaikan
Hal lain yang dapat mendorong seseorang agar lebih ikhlas adalah dengan menyembunyikan amal kebaikannya. Yakni dia menyembunyikan amal-amal kebaikan yang disyariatkan dan lebih utama untuk disembunyikan (seperti shalat sunnah, puasa sunnah, dan lain-lain). Amal kebaikan yang dilakukan tanpa diketahui orang lain lebih diharapkan amal tersebut ikhlas, karena tidak ada yang mendorongnya untuk melakukan hal tersebut kecuali hanya karena Allah semata. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits, “Tujuh golongan yang akan Allah naungi pada hari di mana tidak ada naungan selain dari naungan-Nya yaitu pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh di atas ketaatan kepada Allah, laki-laki yang hatinya senantiasa terikat dengan mesjid, dua orang yang mencintai karena Allah, bertemu dan berpisah karena-Nya, seorang lelaki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang cantik dan memiliki kedudukan, namun ia berkata: sesungguhnya aku takut kepada Allah, seseorang yang bersedekah dan menyembunyikan sedekahnya tersebut hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya dan seseorang yang mengingat Allah di waktu sendiri hingga meneteslah air matanya.” (HR Bukhari Muslim).
Apabila kita perhatikan hadits tersebut, kita dapatkan bahwa di antara sifat orang-orang yang akan Allah naungi kelak di hari kiamat adalah orang-orang yang melakukan kebaikan tanpa diketahui oleh orang lain. Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda “Sesungguhnya sebaik-baik shalat yang dilakukan oleh seseorang adalah shalat yang dilakukan di rumahnya kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari Muslim)
Rasulullah menyatakan bahwa sebaik-baik shalat adalah shalat yang dilakukan di rumah kecuali shalat wajib, karena hal ini lebih melatih dan mendorong seseorang untuk ikhlas. Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dalam Syarah Riyadush Sholihin menyatakan, “di antara sebabnya adalah karena shalat (sunnah) yang dilakukan di rumah lebih jauh dari riya, karena sesungguhnya seseorang yang shalat (sunnah) di mesjid dilihat oleh manusia, dan terkadang di hatinya pun timbul riya, sedangkan orang yang shalat (sunnah) di rumahnya maka hal ini lebih dekat dengan keikhlasan.” Basyr bin Al Harits berkata, “Janganlah engkau beramal agar engkau disebut-sebut, sembunyikanlah kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan keburukanmu.”
Seseorang yang dia betul-betul jujur dalam keikhlasannya, ia mencintai untuk menyembunyikan kebaikannya sebagaimana ia menyembunyikan kejelekannya. Maka dari itu wahai saudaraku, marilah kita berusaha untuk membiasakan diri menyembunyikan kebaikan-kebaikan kita, karena ketahuilah, hal tersebut lebih dekat dengan keikhlasan.
Memandang Rendah Amal Kebaikan
Memandang rendah amal kebaikan yang kita lakukan dapat mendorong kita agar amal perbuatan kita tersebut lebih ikhlas. Di antara bencana yang dialami seorang hamba adalah ketika ia merasa ridha dengan amal kebaikan yang dilakukan, di mana hal ini dapat menyeretnya ke dalam perbuatan ujub (berbangga diri) yang menyebabkan rusaknya keikhlasan. Semakin ujub seseorang terhadap amal kebaikan yang ia lakukan, maka akan semakin kecil dan rusak keikhlasan dari amal tersebut, bahkan pahala amal kebaikan tersebut dapat hilang sia-sia. Sa’id bin Jubair berkata, “Ada orang yang masuk surga karena perbuatan maksiat dan ada orang yang masuk neraka karena amal kebaikannya”. Ditanyakan kepadanya “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”. Beliau menjawab, “seseorang melakukan perbuatan maksiat, ia pun senantiasa takut terhadap adzab Allah akibat perbuatan maksiat tersebut, maka ia pun bertemu Allah dan Allah pun mengampuni dosanya karena rasa takutnya itu, sedangkan ada seseorang yang dia beramal kebaikan, ia pun senantiasa bangga terhadap amalnya tersebut, maka ia pun bertemu Allah dalam keadaan demikian, maka Allah pun memasukkannya ke dalam neraka.”
Takut Akan Tidak Diterimanya Amal
Allah berfirman:
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. Al Mu’minun: 60)
Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa di antara sifat-sifat orang mukmin adalah mereka yang memberikan suatu pemberian, namun mereka takut akan tidak diterimanya amal perbuatan mereka tersebut ( Tafsir Ibnu Katsir ).
Hal semakna juga telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Aisyah ketika beliau bertanya kepada Rasulullah tentang makna ayat di atas. Ummul Mukminin Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah apakah yang dimaksud dengan ayat, “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka” adalah orang yang mencuri, berzina dan meminum khamr kemudian ia takut terhadap Allah?. Maka Rasulullah pun menjawab: Tidak wahai putri Abu Bakar Ash Shiddiq, yang dimaksud dengan ayat itu adalah mereka yang shalat, puasa, bersedekah namun mereka takut tidak diterima oleh Allah.” (HR. Tirmidzi dengan sanad shahih )
Ya saudaraku, di antara hal yang dapat membantu kita untuk ikhlas adalah ketika kita takut akan tidak diterimanya amal kebaikan kita oleh Allah. Karena sesungguhnya keikhlasan itu tidak hanya ada ketika kita sedang mengerjakan amal kebaikan, namun keikhlasan harus ada baik sebelum maupun sesudah kita melakukan amal kebaikan. Apalah artinya apabila kita ikhlas ketika beramal, namun setelah itu kita merasa hebat dan bangga karena kita telah melakukan amal tersebut. Bukankah pahala dari amal kebaikan kita tersebut akan hilang dan sia-sia? Bukankah dengan demikian amal kebaikan kita malah tidak akan diterima oleh Allah? Tidakkah kita takut akan munculnya perasaan bangga setelah kita beramal sholeh yang menyebabkan tidak diterimanya amal kita tersebut? Dan pada kenyataannya hal ini sering terjadi dalam diri kita. Sungguh amat sangat merugikan hal yang demikian itu.
Tidak Terpengaruh Oleh Perkataan Manusia
Pujian dan perkataan orang lain terhadap seseorang merupakan suatu hal yang pada umumnya disenangi oleh manusia. Bahkan Rasulullah pernah menyatakan ketika ditanya tentang seseorang yang beramal kebaikan kemudian ia dipuji oleh manusia karenanya, beliau menjawab, “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin.” (HR. Muslim)
Begitu pula sebaliknya, celaan dari orang lain merupakan suatu hal yang pada umumnya tidak disukai manusia. Namun saudaraku, janganlah engkau jadikan pujian atau celaan orang lain sebagai sebab engkau beramal saleh, karena hal tersebut bukanlah termasuk perbuatan ikhlas. Seorang mukmin yang ikhlas adalah seorang yang tidak terpengaruh oleh pujian maupun celaan manusia ketika ia beramal saleh. Ketika ia mengetahui bahwa dirinya dipuji karena beramal sholeh, maka tidaklah pujian tersebut kecuali hanya akan membuat ia semakin tawadhu (rendah diri) kepada Allah. Ia pun menyadari bahwa pujian tersebut merupakan fitnah (ujian) baginya, sehingga ia pun berdoa kepada Allah untuk menyelamatkannya dari fitnah tersebut. Ketahuilah wahai saudaraku, tidak ada pujian yang dapat bermanfaat bagimu maupun celaan yang dapat membahayakanmu kecuali apabila kesemuanya itu berasal dari Allah. Manakah yang akan kita pilih wahai saudaraku, dipuji manusia namun Allah mencela kita ataukah dicela manusia namun Allah memuji kita ?
Menyadari Bahwa Manusia Bukanlah Pemilik Surga dan Neraka
Sesungguhnya apabila seorang hamba menyadari bahwa orang-orang yang dia jadikan sebagai tujuan amalnya itu (baik karena ingin pujian maupun kedudukan yang tinggi di antara mereka), akan sama-sama dihisab oleh Allah, sama-sama akan berdiri di padang mahsyar dalam keadaan takut dan telanjang, sama-sama akan menunggu keputusan untuk dimasukkan ke dalam surga atau neraka, maka ia pasti tidak akan meniatkan amal perbuatan itu untuk mereka. Karena tidak satu pun dari mereka yang dapat menolong dia untuk masuk surga ataupun menyelamatkan dia dari neraka. Bahkan saudaraku, seandainya seluruh manusia mulai dari Nabi Adam sampai manusia terakhir berdiri di belakangmu, maka mereka tidak akan mampu untuk mendorongmu masuk ke dalam surga meskipun hanya satu langkah. Maka saudaraku, mengapa kita bersusah-payah dan bercapek-capek melakukan amalan hanya untuk mereka?
Ibnu Rajab dalam kitabnya Jamiul Ulum wal Hikam berkata: “Barang siapa yang berpuasa, shalat, berzikir kepada Allah, dan dia maksudkan dengan amalan-amalan tersebut untuk mendapatkan dunia, maka tidak ada kebaikan dalam amalan-amalan tersebut sama sekali, amalan-amalan tersebut tidak bermanfaat baginya, bahkan hanya akan menyebabkan ia berdosa”. Yaitu amalan-amalannya tersebut tidak bermanfaat baginya, lebih-lebih bagi orang lain.
Ingin Dicintai, Namun Dibenci
Saudaraku, sesungguhnya seseorang yang melakukan amalan karena ingin dipuji oleh manusia tidak akan mendapatkan pujian tersebut dari mereka. Bahkan sebaliknya, manusia akan mencelanya, mereka akan membencinya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang memperlihat-lihatkan amalannya maka Allah akan menampakkan amalan-amalannya “ (HR. Muslim)
Akan tetapi, apabila seseorang melakukan amalan ikhlas karena Allah, maka Allah dan para makhluk-Nya akan mencintainya sebagaimana firman Allah ta’ala:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدًّا
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam: 96)
Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa Dia akan menanamkan dalam hati-hati hamba-hamba-Nya yang saleh kecintaan terhadap orang-orang yang melakukan amal-amal saleh (yaitu amalan-amalan yang dilakukan ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan Nabi-Nya ). (Tafsir Ibnu Katsir).
Dalam sebuah hadits dinyatakan “Sesungguhnya apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Dia menyeru Jibril dan berkata: wahai Jibril, sesungguhnya Aku mencintai fulan, maka cintailah ia. Maka Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit: sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah ia. Maka penduduk langit pun mencintainya. Kemudian ditanamkanlah kecintaan padanya di bumi. Dan sesungguhnya apabila Allah membenci seorang hamba, maka Dia menyeru Jibril dan berkata : wahai Jibril, sesungguhnya Aku membenci fulan, maka bencilah ia. Maka Jibril pun membencinya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit: sesungguhnya Allah membenci fulan, maka benciilah ia. Maka penduduk langit pun membencnya. Kemudian ditanamkanlah kebencian padanya di bumi.” (HR. Bukhari Muslim)
Hasan Al Bashri berkata: “Ada seorang laki-laki yang berkata : ‘Demi Allah aku akan beribadah agar aku disebut-sebut karenanya’. Maka tidaklah ia dilihat kecuali ia sedang shalat, dia adalah orang yang paling pertama masuk mesjid dan yang paling terakhir keluar darinya. Ia pun melakukan hal tersebut sampai tujuh bulan lamanya. Namun, tidaklah ia melewati sekelompok orang kecuali mereka berkata: ‘lihatlah orang yang riya ini’. Dia pun menyadari hal ini dan berkata: tidaklah aku disebut-sebut kecuali hanya dengan kejelekan, ’sungguh aku akan melakukan amalan hanya karena Allah’. Dia pun tidak menambah amalan kecuali amalan yang dulu ia kerjakan. Setelah itu, apabila ia melewati sekelompok orang mereka berkata: ’semoga Allah merahmatinya sekarang’. Kemudian Hasan al bashri pun membaca ayat: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Demikianlah pembahasan kali ini, semoga bermanfaat bagi diri penulis dan kaum muslimin pada umumnya. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang ikhlas.
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ
(Segala puji bagi Allah yang dengan nikmatnya sehingga sempurnalah segala amal kebaikan)
Disusun oleh: Abu ‘Uzair Boris Tanesia
Muroja’ah: Ustadz Ahmad Daniel Lc.
Artikel www.muslim.or.id
NAMA-NAMA LAIN AHLU SUNAH WAL-JAMA’AH
AHLU HADITS
1. Hadits secara bahasa berarti baru, lawan kata dari lama. Makna lainnya adalah khabar/berita. Dalam ayat disebutkan,
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ {11{
Adapun dengan nikmat Rabbmu maka sebutlah/ceritakanlah.”[QS al Dhuha;11].
Artinya beritakanlah. Dalam pengertian selanjutnya sering dipakai untuk berita tertentu dalam dien [agama], seperti perkataan shahabat Ibnu Mas’ud,” Sesungguhnya sebaik-baik hadits [ucapan, berita] adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad …”
2. Hadits secara syar’i berarti apa yang dinisbahkan/disandarkan kepada Rasululah baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir {penetapan} maupun sifat fisik dan akhlak beliau. Berdasar definisi ini imam Kirmani dan Ath Thibi tidak menyebut perkataan dan perbuatan shahabat {dalam disiplin ilmu hadits disebut sebagai hadits mauquf}.maupun perkataan dan perbuatan tabi’in {dalam disiplin llmu hadits disebut sebagai hadits maqthu’} sebagai hadits. Namun demikian, mayoritas ulama menyamakan antara hadits dengan sunah (arti sunah bisa dibaca pada keterangan di atas). Dengan demikian hadits mauquf dan hadits maqthu’ juga bisa disebut hadits.
Ilmu hadits ada dua ; 1) Ilmu Hadits Riwyah yaitu ilmu yang mmepelajari perkataan, perbuatan, penetapan dan sifat Rasulullah. 2)Ilmu Hadits Dirayah atau juga dikenal dengan nama Ilmu Mustholahil Hadits yaitu ilmu yang membahas sanad {mata rantai perowi hadits} dan matan {kandungan sebuah hadits}.
3. Makna Ahlul Hadits. .Jika disebut Ahlul Hadits maka maknanya adalah para ulama dan pelajar yang mempelajari hadits-hadits nabi secara sungguh-sungguh baik secara dirayah maupun riwayat dan melaksanakan kandungan hadits dengan menjauhi bid’ah dan hawa nafsu. Dengan demikian, Ahlu Hadits semakna dengan Ahlu Sunah, artinya mereka adalah umat Islam yang paling berpegang teguh dengan sunah Rasulullah dan jama’ah. Karenanya imam Ahmad mengatakan,” Kalau mereka {jama’ah} itu bukan ahlu hadits, saya tidak tahu lagi siapa mereka itu.” Imam Abu Ismail Ash Shobuni dalam kitab beliau “ Aqidatu Salaf Ashabul Hadits“ menyatakan,” Mereka itu mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dan para shahabat beliau yang mereka itu laksana bintang…Mereka mengikuti para imam dan ulama salafush sholih, berpegang teguh dengan dien dan kebenaran yang nyata yang dipegang teguh oleh para ulama, membenci ahlu bid’ah yang membuat bid’ah dalam dien, tidak mencintai mereka dan tidak pula bershahabat dengan mereka.” [Al Mishri 54].
4. Dari sini bisa diketahui bahwa istilah salafu sholih, ahlu sunah dan ahlu hadits itu semakna. Jika keduanya berdiri sendiri / bila salah satu disebutkan [Ahlu Sunah saja, atau ahlu hadits saja] tanpa yang lain, maknanya adalah satu sama lain saling memuat. Jika disebut ahlu sunah, maka ahlu hadits masuk didalamnya begitu juga sebaliknya. Dengan artian ini seluruh kelompok ahlu sunah masuk di dalamnya, baik kalangan ahli hadits, ahli fiqih, ahli ibadah, ahli perang [mujahidin} dan sluruh kelompok lainnya. Arti ini menjadi kata lain dari ahlul haqq {pengikut kebenaran}. Bila kedanya disebutkan secara bersamaan, maka makna ahlu hadits adalah khusus untuk para pakar hadits saja sedang ahlu sunah umum untuk kelompok ahli ibadah, ahli fiqih, ahli perang dan seterusnya. [alMishri 55, menukil dari Majmu’ Fatawa 4/91-95].
AHLUL ATSAR
Secara bahasa.
Kata atsar maknanya bekas, sisa atau pengaruh.
Secara syar’i.
Ada dua pendapat dalam hal ini :
1. Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa istilah hadits, sunnah, dan atsar itu satu makna.
2. Ulama’ Khurosan membedakan antara ketiga istilah ini. Menurut mereka : istilah atsar khusus untuk perkataan dan perbuatan shohabat dan tabi’in. Sedang istilah hadits atau sunnah digunakan untuk perkataan dan perbuatan Nabi..
Namun demikian pendapat mayoritas ulama’ lebih kuat, dikatakan Atsartu haditsan artinya aku meriwayatkan sebuah hadits { Tadzribur rowi :6/ 109 }
Pendapat ini juga di pilih oleh Al Iroqi dan Ibnu Hajar .{ Al khotib : 21,At Thohan :15 - 16 dan Al Umari 25 - 26 }. Sesuai pendapat yang mengatakan atsar semakna dnegan hadits dan sunah, maka ahlu sunah serng juga disebut dengan nama ahlu atsar. Ahlu sunah disebut dengan nama ahlu atsar karena mereka mengiokuti atsar-atsar yang diriwayatkan dari Rasulullah dan para shahabat. [Aql :15, Hasan I/33].
SALAF
Secara Bahasa. Ibnu Mandhur berkata,” Salaf merupakan jama’/plural dari kata salif seperti wazan (rumus kata dalam bahasa arab) haris yang jamanya haras dan khadim yang jama’nya khadam. Salif artinya orang yang terdahulu sesuai urutan waktu (pendahulu, nenek moyang). Salaf artinya jama’ah (kelompok) pendahulu....Salaf juga bermakna para pendahulumu dari bapak-bapakmu dan kerabatmu yang secara umur dan kemuliaan lebih tinggi darimu.” [IX/158-159].
Ibnu Faris dalam Mu’jam Maqayisi Lughah menyatakan,” Sin, laam dan faa’ merupakan asal kata yang shahih menunjukkan makna terdahulu dan awal-awal. Di antaranya adalah kata salaf yang bemakna orang-orang yang telah lewat. Dikatakan al Qaum as Salaf (kaum salaf) maknanya adalah terdahulu.”[AlMahmud I/21].
Secara Syar’i. Secara syar’i, pendapat para ulama menyatakan makna salaf tidak jauh dari makna shahabat, atau shahabat dan tabi’in, atau shahabat dan tabi’in dan tabi’it tabi’in dari kalangan para ulama dan imam terpercaya yang telah diakui keilmuan dan ittiba’nya dengan Al Qur’an dan As Sunah, yaitu para ulama yang tidak terkena tuduhan bid’ah baik bid’ah mufasiqah (membuat fasik) ataupun mukafirah (membuat kafir). [Buraikan :14, AlMishri :56-57,Hasan:34-35].
Mereka inilah yang dimaksud dengan ayat-ayat yang menerangkan golongan yang diridhoi Allah dan Allah meridhoi mereka (seperti QS Al Fath :29, QS Al Hasyr :8-9,QS Al Anfal :74, QS Al Fath :14,QS At Taubah :118,100, QS Al-Baqoroh:143] juga hadits-hadits seperti,” Sebaik-baik manusia adalah generasiku (shahabat) lalu generasi setelah mereka (tabi’in) lalu generasi setelah mereka (tabi’it tabi’in)...” Dan hadits,”Sebaik-baik umatku adalah generasiku, lalu generasi sesudah mereka (tabi’in) lalu generasi sesudah mereka (tabi’it tabi’in)...” [Basyir Badi, AlMahmud I/28, Buraikan :14,Al Mishri :57].
Namun timbul pertanyaan, bukankah pada masa shahabat dan tabi’in misalnya timbul kelompok sesat seperti Khawarij, Rafidzah, Qadariyah, Mu’tazilah dst? Persoalan ini bisa dijawab bahwa pada dasarnya, kata salaf ini [Buraikan :14, AlMahmud I/40-41, Majalatul Buhuts XV/178, Hasan I/34-35] mempunyai dua pengertian :
Pertama. Sisi Qudwah (keteladanan). Artinya, yang dimaksud salaf adalah tiga generasi pertama Islam yang disebut sebagai Al Qurun al Mufadhalah (tiga generasi mulia) yaitu shahabat, tabi’in dan tabi’in.
Kedua. Sisi Manhaj (metode).Artinya salaf tidak terbatas pada tiga generasi utama saja, namun juga setiap muslim yang mengikuti manhaj mereka sampai hari akhir nanti. Siapa mengikuti tiga generasi utama dalam maslahah pemahaman aqidah, pemikiran, ilmu dan iman maka ia bisa disebut sebagai salaf atau pengikut salaf.
Al Mishri [hal.57] berkata,” Salaf berarti istilah yang dipakai untuk para imam terdahulu dari tiga generasi pertama yang diberkahi dari kalangan shahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in yang disebutkan dalam hadits Rasulullah,” Sebaik-baik generasi adalah...” Setiap orang yang beriltizam dengan aqidah, fiqih dan ushul (pokok-pokok pegangan) para ulama tadi maka ia dinisbahkan kepada salaf juga, sekalipun antara ia dengan mereka ada perbedaan ruang dan waktu. Sebaliknya, setiap yang menyelisihi mereka tidak disebut sebagai salaf sekalipun ia hidup di antara mereka dan dikumpulkan oleh ruang dan waktu yang sama.”
Dr. Abu Yazid al ‘Ajami menyatakan,” Dengan demikian, lafal salaf ketika disebutkan harusnya tidak dimaknai untuk periode masa tertentu saja (tiga generas utama) namun juga untuk para shahabat Rasulullah dan tabi’ihim (pengikut mereka) sesudah mereka dengan syarat iltizam dengan manhaj mereka.”[Majalatu al Buhuts XV/178].
Syaikh Mahmud Khafaji dalam Al Aqidah al Islamiyah Baina as Salafiyah wa al Mu’tazilah hal 21 menyebutkan,” Pembatasan waktu ini tidak cukup untuk menentukan makna salaf, namun juga harus diikutkan di dalam kepeloporan dalam waktu ini, kesesuaian pendapat (aqidah dll—pent) nya dengan al Qur’an dan As Sunah dan kandungan keduanya. Siapa menyelisihi Al Qur’an dan As Sunah maka ia tidak termasuk salaf sekalipun hidup di antara para shahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in.” [Al Mishri :57].
Karena itu setelah timbulnya sekte-sekte sesat ini, para ulama sepakat menyatakan makna salaf untuk setiap orang yang menjaga kemurniaan aqidah Islam dan manhaj Islam sesuai dengan manhaj dan pemahaman tiga genmerasi pertama Islam. [AlMahmud I/28, hal senada disebutkan juga oleh DR. Musthofa Hilmi dalam buku beliau Qawa’idu al Manhaj as Salafy :23].
Selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah apa yang dikatakan Dr. Buraikan,”Dengan ini diketahui bahwa pensifatan dengan salaf itu pujian atas setiap orang yang menjadikannya sebagai qudwah dan manhaj. Adapun mensifati diri dengan salaf tanpa merealisasikan kandunagn lafal ini maka tak ada pujian baginya, karena hukum diambil dari kandungan maknanya bukan dengan lafal-lafal bahasa.” [hal.14].
Nampaknya yang beliau maksudkan adalah banyaknya kelompok saat ini ayang menyatakan dirinya salafy (pengikut manhaj salaf) namun aqidah, akhlak, metode berfikir, pemahaman dan sikap hidupnya tidak sesuai dengan manhaj dan qudwah tiga generasi awal Islam. Kalau kita lihat di Indonesia misalnya, masyarakat mengenal salafy (pengikut salafy) yang sebenarnya nama lain ahlu snah wal jama’ah sebagai (1) kelompok penghujat umat Islam dengan kartu ahli bid’ah, ahlil ahwa’, khawarij, mu’tazilah dll atau (2) kelompok yang hampir seluruh ibadahnya tak lepas dari kebid’ahan, aqidahnya banyak bercampur dengan kesyirikan seperti tawasul bid’ah dll. Sampai-sampai karena tidak paham makna salaf, di Bojonegoro Jawa Timur ada sebuah pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah Asy’ariyah. Begitulah, tidak setiap orang yang mengaku salaf betul-betul mengikuti metode salaf. Namun juga merupakan kesalahan besar jika menolak kembali ke salafush sholih atau menolak memahami Al Qur’an dan As Sunah ‘ala fahmi salaf hanya karena alasan adanya kelompok yang menamakan dirinya salaf namun isinya tidak sesuai dengan salaf. Kita sadari masih banyak umat Islam yang menyatakan yang penting kembali kepada Al Qur’an dan As Sunah, tak perlu pakai embel-embel salaf segala. Pemikiran ini jelas salah kaprah dan sangat berbahaya, karena memungkinkan dirinya teracuni banyak pikiran sesat seperti Mu’tazilah, Khawarij, Qadariyah dst. Semua kelompok sesat mengaku dirinya kembali kepada Al Qur’an dan As Sunah, namun memahaminya sesuai dengan kemauan mereka sendiri, kemauan tokohnya dst. Inilah letak kesesatannya. Manhaj salaf jelas telah menda[pat rekomendasi Allah Ta’al dan Rasulullah sebagai manhaj yang benar, karena diajarkan Rasulullah berdasar wahyu kepada para shahabat.
FIRQAH NAJIYAH (golongan yang selamat)
Selain ahlu sunah, ahlu atsar, ahlu hadits dan salaf, ahlu sunah wal jama’ah juga sering dikenal dengan nama firqah najiyah, didasarkan pada hadits-hadits yang menerangkan akan pecahnya umat Islam menjadi 73 golongan, dimana 72 golongan akan tersesat dan yang selamat (najiyah) hanya satu saja yaitu ma ana alaihi wa ashabi / apa yang saya dan para shahabatku berada di atasnya –jama’ah dengan artian ilmu/mengikuti kebenaran, ahlu sunah __ dan dalam lafal lain disebutkan al Jama’ah. [Hasan I/36,Al Mahmud I/35, Al Mishri : 58-62].
Para ulama telah menyebutkan sanad (mata rantai) hadits hadits tentang perpecahan umat Islam menjadi 73 golongan ini dalam buku-buku mereka. Di antara ulama kontemporer yang melakukannya adalah Syaikh Salman Fahd al Audah, Syaikh Salim Ied al Hilaly, Syaikh Muhammad Abdul Hadi al Mishri dll. Penelitian para ulama ini yang dipandang paling baik adalah tulisan Syaikh Audah. Berdasarkan penelitian Syaikh Audah, para perawi hadits-hadits perpecahan umat ini dari kalangan shahabat adalah : Abu Hurairah, Mu’awiyah, Abdullah bin Amru, Auf bin Malik, Anas bin Malik, Abu Umamah, Ibnu Mas’ud, Jabir bin Abdullah, Sa’ad bin Abi Waqash, Abu Darda’, Watsilah bin Al Aqsa’, Amru bin Auf al Muzany, Ali dan Abu Musa.[Lengkapnya baca Audah, Sifatul Ghuraba’].
Di antara hadits-hadits tentang perpecahan umat Islam ini antara lain adalah apa yang diriwayatkan oleh shahabat Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah bersabda,” Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, Nasrani terpecah menjadi 71 --- atau 72 --- golongan dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan.” [Abu Daud no.4596, Tirmidzi no. 2640 dan menyatakannya hasan shahih, Ibnu Majah n. 3991, Ahmad II/332, al Hakim I/61,I/128 dan menyatakannya sebagai hadits shahih berdasar syarat imam Muslim, dan disetujui Adz Dzahabi. Hadits ini dishahihkan Asy Syathibi dalam I’tisham II/189 dan Imam Suyuthi dalam Al Jami’ Ash Shaghir II/20].
Dalam riwayat Auf bin Malik ia berkata, Rasulullah bersabda,” Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, 1 golongan di surga dan 70 lainnya di neraka. Nasrani terpecah menjadi 72 golongan, 1 golongan di surga dan 71 lainnya di neraka. Demi Dzat yang nyawa Muhammad berada di tangan-Nya, umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, 1 golongan di surga dan 72 lainnya di neraka.” Para shahabat bertanya,” Ya Rasulullah, siapa mereka?” Beliau menjawab,” Jama’ah.” [Ibnu Majah no. 3992,Al Laalikai I/101 no. 149, Al Hakim I/6].
THOIFAH MANSHURAH (Kelompok yang menang, ditolong Allah).
Nama lain Ahlu sunah wal jama’ah yang disebutkan dalam hadits-hadits Rasulullah adalah thoifah manshurah. Banyak hadits-hadits yang menyebutkan hal ini. Menurut penelitian mendalam Syaikh Audah, para shahabat yang meriwayatkan hadits tentang thaifah manshurah ini adalah Mughirah bin Syu’bah, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Tsauban, Jabir bin Samurah, Jabir bin Abdullah, Sa’ad bin Abi Waqash, Uqbah bin Amir, Abdullah bin Amru, Zaid bin Arqam, Imran bin Hushain, Qurah bin Iyas, Abu Hurairah, Umar bin Khathab, Salamah bin Nufail al Kindy, Nawas bin Sam’an, Abu Umamah Al Bahiliy, Murah bin Ka’ab al Bahzy, Syurahbil bin Samth al Kindy dan Muadz bin Jabal. Para ulama seprti Ibnu Taimiyah dalam Iqtidha’ ash Shirat al Mustaqim I/69), Suyuthi dalam Qatful Azhar al Mutanatsirah hal. 216 no. 81, Az Zubaidi dalam Luqatu al Laali al Mutanatsirah fi Ahaditsi al Mutawatirah hal. 68 dan Al Kanany dalam Nadhmul al Mutanatsir fi Hadits al Mutawatir hal. 93. [Audah, Al Mishriy : 38-41, 58-62, Al Mahmud I/40-41].
Di antara hadits-hadits ini adalah apa yang diriwayatkan oleh shahabat Mughirah dari nabi bahwa beliau bersabda,” Akan senantiasa ada manusia dari umatku yang menang (berada di atas kebenaran—pent) sampai datang kepada mereka urusan (keputusan) Allah sedang mereka dalam keadaan dhahirin (menang).”[Bukhari IV/187, VIII/149 dengan lafal, “Kelompok..di atas kebenaran..”, VIII/189, Muslim 171, Darimi 3437, Ahmad IV/244,252,348 dengan lafal.” Berperang di ats jalan kebenaran..”, Ath Thabrani dalam Mu’jam al Kabir no. 959, 960, 962, 961 dengan lafal,” Sampai datang kiamat kepada mereka].
Muhadits abad XV H, Syaikh Nashirudin Albani juga menshahihkan hadits-hadits tentang hal ini dalam Shahih Jami’ ash Shaghir no. 5343 dan Silsilah Ahadits Shahihah no. 204. Beliau menyebutkan para ulama yang menshahihkan hadits-hadits ini, antara lain Ibnu Taimiyah, al Iraqy, Adz Dzahabi, al Hakim an Naisabury, Asy Syathibi serta Ibnu Hajar.
Hadits-hadits ini sebagaimana dikatakan ulama adalah hadits mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak dalam setiap generasinya sehingga mustahil mereka berdusta. Hadits ini dengan tegas menunjukkan, akan senantiasa ada sekelompok umat Islam yang berjihad (berperang) di atas kebenaran (sunah Rasulullah) sampai datang hari akhir, atau urusan/ keputusan Allah yang berdasar hadits-hadits shahih disebutkan berhembusnya angin halus yang mematikan seluruh orang yang beriman di bumi dan menyisakan di dunia ini para pelaku kejahatan/maksiat saja, itu terjadi sebelum kiamat. [selengkapnya baca Audah].
Kesimpulan :
Nama lain Ahlu Sunah wal Jama’ah adalah :
1. Ahlu Hadits.
2. Ahlu Atsar.
3. Salaf atau Salafush Sholih.
4. Firqah Najiyah.
5. Thaifah Manshurah.
Catatan :
Sebagian ulama seperti Ibnu Taimiyah dalam Al Aqidah al Wasithiyah menyamakan antara Firqah Najiyah dan Thaifah Manshurah. Namun beberapa ulama kontemporer seperti Syaikh Audah membedakan antara keduanya, di mana Firqah Najiyah lebih umum dalam artian seluruh Ahlu Sunah wal Jama’ah (karena mereka telah mengikuti Al Qur’an da AS Sunah ala fahmi salafus sholih) adalah Firqah najiyah (golongan yang selamat, artinya dijamin di akhirat nanti selamat dari nereka, sekalipun barang kali masih masuk nereka namun bukan karena kesesatan dalam keyakinan tapi karena sebagian maksiatnya). Adapun Thaifah Manshurah adalah firqah Najiyah yang berperang /berjihad di jalan Allah untuk menegakkan Islam dan kalimat Allah di muka bumi. Ini diperkuat oleh hadits-hadits tentang thaifah manshurah yang rata-rata menggunakan lafal berperang dan mengalahkan musuh.
Dalam hal ini – wallahu a’lam—penulis (redaksi Aqwam) lebih cenderung pada pendapat ulama kontemporer tadi karena dikuatkan oleh lafal-lafal hadits tentang Thaifah Manshurah. Dalam kenyataannya memang demikian, sebenarnya banyak umat Islam yang dibimbing para ulama yang tetap berada di atas jalan sunah Rasulullah (jama’ah dalam artian ilmiyah), namun sedikit sekali para ulama yang mau berjihad mengorbankan nyawa dan hartanya untuk menegakkan kalimat Islam dan menegakkan kembali jama’atul Muslimin (dalam tinjauan politik). Dalam banyak negara yang di situ banyak ulama ahlu sunah sekalipun, para ulama yang mengusung ide jihad tetap dimusuhi negara dan disiksa dengan banyak siksaan. Tengok misalnya Arab Saudi, di mana para ulama semisal Syaikh Salman Audah, Dr. Safar al Hawali, Syaikh Hamud al ‘Uqaily, Syaikh ‘Aidh al Qarny dan ulama-ulama lain dan juga tak kurang dari 800 mantan mujahidin yang terlibat jihad di Afghanistan dipenjara dan disiksa dengan sadis oleh pihak kerajaan. Para ulama sunahnya bahkan banyak yang menuduh mereka dengan khawarij dll. Syaikh Usamah bin Laden dan seluruh pengikut beliau yang terlibat dalam jihad melawan Rusia di Afghanistan dan saat ini melawan Amerika dan Yahudi bahkan menjadi buronan nomor satu di Arab Saudi.
Begitu juga di seluruh dunia. Hampir seluruh ulama jihad menjadi buronan dan jama’ah-jama’ah jihad dimusuhi tidak saja oleh negara, namun juga ulama-ulama ahlu sunah yang merupakan panutan umat. Dari ahlu sunah di dunia ini yang saat ini mencapai sekitar satu milyard lebih, yang menegakan jihad menegakkan Islam hanya sedikit sekali. Itulah Thaifah Manshurah (kelompk yang mendapat pertolongan Allah), seklaipun seluruh musuh-musuh Allah menyerbu mereka dengan segaal macam sarana, Allah tetap memenangkan mereka. Itulah yang bisa kita saksikan di Moro Filipina, Chechnya, Afghanistan, Palestina, Pattani Tahiland, Arakan Birma, Kasymir India dst. Wallahu A’lam Bish Shawab.
Sumber : Seluruh sumber edisi I ditambah
1. Salam, Ahmad, Maa Ana ‘Alaihi wa Ashabi, Cet.1, Daru Ibni Hazm, 1415 H/1995 M.
2. Audah, Shifatul Ghuraba’, Ghuraba’ Awalun dan Min WasailinDAf’il Ghurbah.
3. Albani, Muhammad Nashirudin, Silsilah Ahadits Shahihah.
4. _________________________, Shahih al Jami’ Ash Shaghir.
5. As Sa’dan, Dr. Sa’ad Abdullah Sa’ad, Tahqiq wa Takhrij Hadits Iftiraqil mah Ila Niif wa Sab’ina Firqah, karya Imam Ash Shan’any, cet. 1, Dar al ‘Ashimah, 1415 H.
SAHABAT
Pengertian :
1. Bahasa: sahabat adalah bentuk plural atau jamak dari kata الصحابي yang bersal dari kata الصحبة Artinya perkawanan,kata ini di pakai untuk segala jenis persahabatan dan pertemanan meski hanya sesaat,sejam,sehari,sebulan dan seterusnya.
2. Istilah : Orang yang bertemu dengan Nabi pada saat hidupnya dalam keadan muslim dan ketika mati ia juga tetap muslim.penjelasan:
- Orang yang bertemu dengan Nabi pada saat hidupnya :
Orang yang melihat Nabi tapi saat Nabi sudah wafat dan belum di kuburkan seperti penyair Abu dzua’ib Al Hudzali tidak di sebut sahabat .
- Dalam keadaan muslim :
Orang yang bertemu Nabi pada saat Nabi masih hidup tapi ia masih kafir tidak di sebut sahabat,meskipun sesudah Nabi wafat ia masuk islam seperti utusan kaisar romawi.
Mati dalam keadaan muslim :
Orang yang murtad dan mati dalam keadaan murtad tidak di sebut menurut ibnu hajar.Orang yang murtad lalu masuk islam lagi di zaman Nabi masih hidup tetap di sebut sahabat,seperti Abdulloh bin Abi Sarh { Al ishobah 1/9}
DERAJAT SHOHABAT
Para sahabat mempunyai derajat yang sangat tinggi dalam islam. Mereka semua adil dan kita tidak perlu menyangsikan keadilan mereka. Maksud adil disini adalah adil menurut pengetian ilmu hadits. Seorang perawi hadits harus adil dan dhobit, adil artinya baik akhlaqnya, diennya lurus dan tidak mempunyai sifat yang mengurangi harga dirinya, sedang dhobit artinya :kuat hafalannya.
Semua ulama’ telah sepakat bahwa sohabat semuanya adil, berdasar Nash-nash Al Qur’an, as Sunnah dan ijam’, karena itu lucu sekali aqidah Syiah yang mengkafirkan selurah sahabat kecuali Ali, Amar, Salman dan Miqdad. Sikap dan aqidah mereka ini sangat lucu, darimana mereka belajar Islam, Al Qur’an dan As Sunnah kalau tidak dari sahabat ? kalau seluruh sahabat kafir, kenapa Rosululloh berteman dengan mereka ? Tidak ada yang menyangsikan keadilan para sahabat kecuali musuh-musuh Rosululloh, musuh-musuh islam. Orang syiah tidak belajar Islam dari generasi sahabat karena mereka anggap telah kafir. Mereka belajar dari Abdullah bin Saba’, pendeta Yahudi yang pura-pura masuk Islam untuk merusak islam .
Karena itu ulama’ sepakat Syi’ah itu kafir. Syi’ah bukan termasuk kelompok umat islam, Syiah merupakan agama tersendiri, agama Syiah. Mereka punya ilah yang mereka ibadahi : ada yang menuhankan Ali dan ada pula yang menuhankan imam-imam mereka, kitab suci mereka adalah mushaf yang kata mereka 3 kali lipat isi Al Qur’an, mushaf itu ada pada Fatimah.
Kembali kepada derajat sahabat, banyak sekali ayat dan Hadits yang menerangkan ketinggian derajat sahabat.
DALIL - DALIL AL QUR’AN
QS Al Fath : 29
مُّحَمَّدُُ رَّسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي اْلإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْئَهُ فَئَازَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فاَسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمَا {29}
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu'min).Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.
QS Al Hasyr :8-9
لِلْفُقَرَآءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانًا وَيَنصُرُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ {8} وَالَّذِينَ تَبَوَّءُو الدَّارَ وَاْلإِيمَانَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلاَيَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ {9}
(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya.Mereka itulah orang-orang yang benar. (9) Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka.Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri.Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.
QS Al Anfal : 74
وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ وَالَّذِينَ ءَاوَوْا وَنَصَرُوا أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَّهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ {74}
Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia.
QS Al Fath :18
لَّقَدْ رَضِىَ اللهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَافِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ
السَّكِينَة عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا {18}
Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu'min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).
QS At Taubah :117,100
وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ {100}
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.
لَّقَد تَّابَ اللهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِن بَعْدِ مَاكَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِّنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ {117}
Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka,
QS ِAl-Baqoroh : 143
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنتَ عَلَيْهَا إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِينَ هَدَي اللهُ وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفُُ رَّحِيمُُ {143}
Washat artinya : Sebaik-baik ummat dan seadil-adilnya, dalam perkataan, perbuatan dan niat mereka. Karena sifat ini para sahabat layak di angkat Allah menjadi para saksi bagi para rosul atas umat umat mereka yang kafir pada hari kiamat nanti. Allah menerima persaksian mereka sehingga mereka menjadi para saksi Allah, karena kemuliaan ini Allah memuliakan mereka dan memuji serta mengangkat nama mereka. Alloh memberitahu seluruh mahluq-Nya, malaikat dan lain lain bahwa para sahabat adalah para saksi Allah dan para nabi. .Allah memerintahkan para malaikat untuk berdo’a bagi mereka dan memintakkan ampun bagi mereka. Saksi yang di terima di sisi Allah adalah yang diketahui berilmu dan jujur sehingga bisa memberitahukan kebenaran dengan bersandar pada ilmu sebagaimana firman-Nya:
إلا من شهد بالحق وهم يعلمون
“Kecuali orang-orang yang bersaksi dengan kebenaran dan mereka berilmu
(QS Az Zukhruf :86 ) { Ibnu Qoyyim ,A’lam muwaqi’in 4/102 }
QS. Ali Imron (3) : 110
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرَهُمُ الْفَاسِقُونَ {110}
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Orang yang paling berhak menerima sifat ini adalah para shahabat. Al Qur’an diturunkan kepada mereka, di zaman mereka dan perbuatan mereka sesuai dengan petunjuk Al Qur’an.
QS Al-Hajj (22) :78
وَجَاهِدُوا فِي اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَاجَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِن قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَآءَ عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللهِ هُوَ مَوْلاَكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ {78}
Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (al-Qur'an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atau segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.
Allah telah memilih para shahabat dan menjadikan mereka Ahlullah. Orang-orang khusus dan pilihan-Nya setelah para nabi dan rasul. Karena itu Allah memerintahkan mereka unuk berjihad dengan sungguh-sungguh dengan cara mengerahkan seluruh kemampuan dan mengesakan-Nya dalam masalah kecintaan, pengabdian dan menjadikan-Nya sebagai satu-satunya Ilah yang ditaati dan diabdi. Mereka mendahulukannya atas segala hal selain-Nya sebagaimana mereka dipilih Allah dan dijadikan-Nya auliya’-Nya. Allah menyatakan bahwa Ia melakukan hal ini agar rasul-Nya menjadi saksi atas mereka dan mereka menjadi saksi atas seluruh umat manuisia. [A’lam 4/102].
QS ِِAn-Naml (27) : 59
قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَسَلاَمٌ عَلَى عِبَادِهِ الَّذِينَ اصْطَفَى ءَآاللهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ {59}
Katakanlah : "Segala puji bagi Allah dan kesejahteraan atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya.Apakah Allah yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia?"
Ibnu Abbas berkata,” Mereka adalah para shahabat Muhammad. Allah secara khusus memilih mereka untuk membantu nabi-Nya.” [Syarhu Sunah 7/71, dikuatkan oleh QS.35:32
, ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ ذَلِكَ هُوَالْفَضْلُ الْكَبِيرُ {32}
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan diantara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.Yang demikian itu itu adalah karunia yang amat besar.
lihat A’lam 4/100]
Keadilan, kesholehan dan ketaqwaan shahabat telah diakui Allah Ta’ala dari langit ketujuh, amat lucu sekali orang yang mencela shahabat. Sepandai apapun orang itu, ia sama sekali tidak beradab dan mengenal Allah Ta’ala 9:32.
يُرِيدُونَ أَن يُطْفِئُوا نُورَ اللهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللهُ إِلاَّ أَن يُّتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ {32}
Mareka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir tidak menyukai.
DALIL AS SUNAH
Dari Abu Sa’id dari Nabi beliau bersabda,” Janganlah kalian mencela shahabatku demi Dzat yang nyawaku berada di tangan-Nya , jika salah seorang di antara kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud pastilah tidak bisa menyamai segenggam infak mereka, tidak pula setengahnya.” [Bukhari 3673, Muslim 222/2541, Abu Daud 4658, Tirmidzi 3861].
Rasulullah bersabda demikian kepada Khalid bin Walid dan para shahabat lain yang baru masuk Islam pasca Perjanjian Hudaibiyah dan Fathu Makah. Kalau satu genggam atau setengahnya saja lebih utama dari infaq emas sebesar gunung Uhud para shahabat seperti khalid, lantas bagaimana mungkin Allah mencegah kebenaran dari fatwa-fatwa mereka ? Pastilah yang mereka fatwakan / katakan benar. [A’lam 4/10].
Dari Abdullah bin Mughafal al Muzani ia berkata,” Rasulullah bersabda,”Takutlah kepada Allah dalam masalah shahabatku 2 X janganlah kalian menjadikan mereka sebagai obyek kritikan sesudah aku meninggal. Siapa mencintai mereka maka demi rasa cintaku aku mencintai mereka dan barang siapa membenci shahabatku maka demi rasa benciku aku membenci mereka. Siapa menganiaya shahabatku maka ia telah menganiayaku, siapa menganiayaku berarti ia telah menganiaya Allah. Maka pasti Allah akan mengadzabnya.” [Tirmidzi 3962, dishahihkan Ibnu Hibban dan disebutkan oleh al Haitsami dalam Mawaridu adh Dham’an 2284, Ahmad 4/87].
Dari Abu Musa ia berkata,” Kami sholat Maghrib bersama nabi lalu kami berkata,” Alangkah baiknya kalau kita menunggu di Masjid sampai shalat Isya’ bersama beliau. Maka kami menunggu beliau sampai beliau keluar kepada kami, maka beliau bertanya,” Kalian masih di sini?” Kami menjawab,”Benar, Ya Rasulullah kami ingin mengerjakan Isya’ bersamamu.” Beliau berkata,” Kalian telah berbuat baik dan benar.”Lalu beliau mengangkat wajah beliau menghadap langit dan memang beliau sering melakukan hal itu. Beliau bersabda,” Bintang-bintang itu penjaga amanat bagi isi langit jika ia pergi maka isi langit akan ditimpa apa yang dijanjikan atas mereka. Aku adalah penjaga amanat bagi para shahabatku. Jika aku pergi, shahabatku akan ditimpa apa yang dijanjikan kepada mereka. Shahabatku adalah penjaga amanat bagi umatku, jika shahabatku tiada maka umatku akan ditimpa apa yang dijanjikan kepada mereka.” [Muslim 207/2531, Ahmad 4/399].
Imam Al Ghazali
Abu Hamid Muhammad ibnu Muhammad ibnu Ahmad, dilahirkan pada tahun 450 H/1059 di Thus daerah Khurasan. la dikenal dengan al-Ghazali karena ayahnya pekerja pemintal tenun wol atau karena ia berasal dari desa Ghazalah. Keluarganya tergolong keluarga yang kuat beragama dan termasuk keluarga sufi. la mulai memasuki pendidikan di daerahnya yaitu belajar kepada Ahmad ibnu Muhammad al-Razkani ¬al-Thusi.
Disamping belajar tersebut ia mulai mengajar dan menulis dalam Ilmu Fiqh Setelah imam al-Juwaini wafat dan pelajaran tasa¬wuf sudah cukup dikuasainya, kecemerlang¬an dan keharuman namanya dan kesenangan duniawi melimpah ruah. Namun keadaan itu bukan semakin menambah kebahagiaan¬ malah membawanya sakit sampai ia secara tiba¬-tiba meninggalkan Baghdad mengundurkan diri dari kecemerlangan duniawi itu. ia berangkat menuju Damaskus di Syria dan tinggal dikota ini mulai tahun 488 H/1095 suatu kota yang penuh damai dan banyak dihuni kalangan sufi. Di masjid Umawi ia ber'itiqaf dan berzikir di puncak menara sebelah barat sepanjang hari dengan makan minum yang terbatas. la memasuki suluk sufi dengan riyadhah dan mujahadah terus-menerus seperti itu selama dua tahun di Damaskus.
Setelah itu, ia meninggalkan Damaskus berangkat menuju Baitul Maqdis di Palestina. Di sini, setiap hari ia masuk Qubbah Shahrah mengunci pintunya unlah dan berzikir. ia juga berangkat ke kota al-Khalil untuk berziarah ke makam Nabi Ibrahim as. Setelah dirasa cukup berada di Palestina, ia berangkat menuju Hijaz untuk melaksanakan ibadah haji di Mekkah dan ber¬ziarah Ke makam Rasulullah di Madinah.menurut beberapa penulis, setelah ia melaksana¬n ibadah haji, ia berangkat menuju Mesir dan ting¬gal iskandariah beberapa lama. Setelah beberapa kali adanya permintaan, maka ia akhirnya mengabul¬kan untuk kembali mengajar di Perguruan Nidzami¬yah Baghdad. Ternyata ia tinggal di Baghdad dengan tugas memberikan kuliah tersebut tidak lama dilaksa¬nakannya, dan ia kembali ke Thus. Di Thus ia mendirikan khanaqah untuk para sufi dan mendirikan madrasah untuk mengajar Ilmu Tasa¬wuf. Di daerah kelahirannya ini Imam al-Ghazali yang bergelar dengan hujjatul Islam meninggal dunia de¬ngan tenang pada hari Senin 14 jumadil Akhir 505 H. AI-Ghazali meninggalkan karya-karya tulis yang amat banyak meliputi berbagai bidang keislaman Kalam, Fiqh, Filsafat, Tasawuf, dan lain-lain, dalam ¬bentuk buku maupun risalah.
Tasawuf al-Ghazali menghimpun akidah, syariat, dan akhlak dalam satu sistematika yang kuat dan amat berbobot. Berbobotnya tasawuf al-Ghazali itu karena teori-teori tasawufnya itu lahir dari kajian dan peng¬alaman pribadi setelah melaksanakan sulukk dalam riyadhah dan mujahadah yang intensif dan berkesi¬nambungan.
Dalam pandangan al-Ghazali, Ilmu Tasawuf mengandung dua bagian penting, pertama mengandung bahasan hal-hal yang menyangkut ilmu mu'amalah dan bagian kedua mengandung bahasan hal-hal yang menyangkut ilmu mukasyafah. Ilmu Tasawuf yang mengandung dua bagian ilmu ini secara jelas diurai¬kan dalam karyanya Ihya 'Ulumiddin. Ia mengemukakan maqamat dan ahwal yang perlu ditempuh oleh salik itu adalah tobat, sabar, syukur, khauf, zuhud, tawakkal, mahabbah, unsu, 'isyq, ridha.Menurut al-Ghazali, antara maqam dan hal tidak begitu berbeda dan hanya dikenali dengan perasaan batin masing-masing. Dalam uraian-uraian al¬-ghazali, kita mengetahui bahwa setiap maqam dan hal selalu mengandung tiga unsur penting yaitu menyangkut ilmu, rasa dan amal dari masing-masing. Menurut al-Ghazali perjalanan tasawuf itu pada hakikatnya adalah pembersihan diri dan pembening¬an hati terus-menerus hingga mampu mencapai mu¬syadah. Oleh karena itulah, maka al-Ghazali mene¬kankan betapa pentingnya pelatihan jiwa, penempaan moral atau akhlak yang terpuji baik di sisi manusia maupun di sisi Tuhan. Keistimewaan al-Ghazali yang lain adalah uraian¬nya yang berhubungan dengan makrifat sebagai jalan mnengenal Allah yang jelas ciri-ciri dan batas-batasnya. Sarana makrifat menurut al-Ghazali, bukan akal, indera atau rasa, tetapi hati (al-qalbu). Hati (al-qalbu) bukan dalam arti segumpal daging dalam dada sebe¬lah kiri itu sebagaimana biasanya disebutkan, namun adalah percikan rohaniah ketuhanan (latifah rabbaniy¬ah) yang merupakan kebenaran hakiki manusia. Menurut al-Ghazali, hati (al-qalbu) ibarat cermin yang mampu menangkap makrifat ketuhanan. Ke¬mampuan hati (al-qalbu) tersebut tergantung pada bersih dan beningnya hati (al-qalbu) itu sendiri. Apa bila ia dalam keadaan kotor atau penuh debu dosa maka ia tidak akan bisa menangkap makrifat itu. Metode penyampaian yang digunakan adalah meto¬de kasyf.
Dengan kasyf yaitu terbukanya dinding yang memisahkan antara hati (al-qalbu) dengan Tuhan karena begitu bersih dan beningnya hati (al-qalbu) tersebut, maka terjadi musyahadah yang hakiki. Seorang sufi yang sudah berada dalam maqam demikian, ia tidak memandang selain Allah dan tidak, tahu selain Dia. Yang disaksikannya dalam ujud ini hanyalah Dia dan ciptaan-ciptaan-Nya. Dalam keada¬an demikian, seorang sufi mengesakan Allah dengar sebenarnya dan ia tidak melihat kecuali Dia. Demikian sufi sudah mulai memasuki keadaan fana dalam tauhid.
Membicarakan masalah fana, maka menurut Al-Ghazali, pembicaraan itu sudah memasuki ilmu mukasyafah.
Langganan:
Postingan (Atom)